Analisis Novel To Kill A Mockingbird

 Memahami To Kill A Mockingbird

Diterjemahkan dari Sparknotes


TEMA

Koeksistensi Baik dan Jahat

Tema paling menonjol dari To Kill A Mockingbird adalah ekplorasi novel tersebut akan sifat moral manusia – apakah orang pada dasarnya baik ataukah pada dasarnya jahat. Novel menyajikan masalah ini dengan mendramatisasi transisi Scout dan Jem dari perspektif kepolosan masa kanak-kanak, di mana mereka menganggap orang itu baik karena tidak pernah melihat kejahatan, ke perspektif yang lebih dewasa, di mana mereka telah menyaksikan adanya kejahatan dalam pemahaman mereka tentang dunia. Sebagai hasil dari penggambaran transisi dari sosok yang polos menjadi berpengalaman, salah satu subtema penting dalam buku ini yakni ancaman yang ditimbulkan oleh kebencian, prasangka, dan ketidaktahuan kepada orang yang tidak bersalah: orang-orang seperti Tom Robinson dan Boo Radley tidak siap menghadapi kejahatan yang mereka temui, dan, sebagai hasilnya, mereka pun dihancurkan. Bahkan Jem menjadi korban kejahatan rasisme setelah persidangan. Sementara Scout mampu mempertahankan keyakinannya pada sifat dasar manusia yang baik terlepas dari hasutan Tom, keyakinan Jem pada keadilan dan kemanusiaan rusak parah, dan dia tenggelam dalam kekecewaan.

Suara moral dalam To Kill A Mockingbird diwujudkan oleh Atticus Finch, yang merupakan sosok yang unik dalam novel itu karena ia telah mengalami banyak sekali kejahatan namun tetap tak kehilangan keyakinannya akan kebaikan dalam sifat manusia. Atticus menyatakan bahwa daripada sekedar memahami manusia sebagai mahluk baik atau mahluk jahat, banyak orang yang memiliki sifat keduanya. Yang paling penting adalah mengharga sifat baik seseorang dan memahami sifat buruk mereka dengan memperlakukan mereka dengan simpati dan mencoba melihat dari sudut pandang mereka. Dia mencoba mengajarkan pelajaran moral tinggi ini kepada Jem dan Scout untuk menunjukkan kepada mereka bahwa sangat mungkin untuk hidup dengan hati nurani tanpa kehilangan harapan atau menjadi sinis. Dengan cara ini, Atticus mengagumi keberanian Mrs. Dubose yang menyesali rasismenya. Perkembangan karakter Scout dalam novel ditandai oleh perkembangan pemahamannya akan pelajaran dari Atticus, yang berpucak di bab-bab terakhir, Scout akhirnya dapat melihat Boo Radley sebagai manusia. Kemampuan barunya untuk melihat dunia dari sudut pandang Boo memastikan bahwa dia tidak akan rapuh meski telah kehilangan kepolosannya.

Pentingnya Pendidikan Moral

Karena eksplorasi pertanyaan seputar moral sebagian besar terlihat dari perspektif anak-anak, maka pendidikan kanak-kanak merupakan titik pengembangan dari semua tema dalam novel. Dengan artian lain, bahwa alur cerita menggambarkan pendidikan moral yang diperoleh Scout, dan tema tentang bagaimana anak-anak seharunsya dididik – bagaimana mereka diajar untuk berubah dari kepolosan kanak-kanak menjadi manusia dewasa yang bijak- terjadi sepanjang novel (di akhir novel, Scout bahkan mengatakan bahwa dia telah mempelajari hampir semua hal kecuali aljabar). Tema ini tereksplor dengan luas dalam hubungan Atticus dan anak-anaknya, ketika dia mengabdikan dirinya untuk menanamkan kesadaran sosial dalam diri Jem dan Scout. Adegan di sekolah menggambarkan kefektifan pelajaran yang diberikan oleh Atticus untuk anak-anaknya:  Scout meprotes sikap gurunya yang tidak peduli dengan kebutuhan murid-muridnya. Seperti halnya tema moral lain dalam To Kill A Mockingbird, kesimpulan novel tentang pendidikan yakni bahwa pelajaran yang paling penting adalah simpati dan pengertian, pendekatan simpatik yang pengertian adalah cara terbaik untuk mengajarkan hal tersebut. Dengan cara ini, kemampuan Atticus menempatkan dirinya di posisi anak-anaknya membuatnya menjadi guru yang sangat baik, sementara komitmen ketat Miss Caroline akan teknik pendidikan yang dipelajarinya di perguruan tinggi membuatnya tidak efektif dan bahkan berbahaya.

Adanya Ketidakadilan Sosial

Perbedaan status sosial diekplorasi sebagian besar melalui hirarki sosial Maycomb yang terlalu rumit, seluk-beluk yang sering membingungkan anak-anak. Finch yang relative kaya berdiri di dekat puncak hirarki sosial Maycomb, dan sebagaian besar penduduk kota berada di bawah mereka. Petani desa seperti keluarga Cunningham berada di bawah penduduk kota, dan keluarga Ewell berada di bawah keluarga Cunningham. Tetapi komunitas kulit kitam di Maycomb, terlepas dari banyak sosok yang berbakat, berada di bawah Ewells, yang memungkinkan Bob Ewell untuk menutupi kekurangannya dengan menindas Tom Robinson. Pembagian kelas sosial yang kaku yang membentuk dunia orang dewasa ini terungkap dalam novel ini sebagai hal yang tidak masuk akal dan destruktif. Misalnya, Scout tidak dapat memahami mengapa Bibi Alexandra menolak untuk mengizinkannya bergaul the Walter Cunningham. Lee menggunakan kebingungan anak-anak ini untuk mengkritik peran status sosial dan, pada akhirnya, prasangka dalam interaksi manusia.

Prasangka

Pembahasan tentang prasangka secara umum, dan rasisme pada khususnya, adalah inti dari cerita To Kill A Mockingbird. Konflik rasisme memunculkan beberapa adegan yang paling menarik dan berkesan dalam novel. Konflik rasial menyebabkan dua kematian dramatis yang terjadi dalam cerita. Pada level tertentu, To Kill A Mockingbird mewakili pandangan yang moralistic perihal prasangka rasial. Orang kulit putih yang rasis itu jahat, orang kulit putih yang tidak rasis itu baik. Atticus mempertaruhkan reputasinya, posisinya di masyarakat, dan pada akhirnya keselamatan anak-anakanya karena dia tidak rasis, dan karena itu baik. Bob Ewell secara keliru menuduh seorang pria kulit hitam melakukan pemerkosaan, meludahi Atticus di depan umum, dan mencoba membunuh seorang anak karena sifat rasisnya, dan karena dia jahat. To Kill A Mockingbird mencoba mengungkap kerumitan hidup dalam masyarakat yang rasis. Baik Scout maupun Jem menghadapi segala sesuatu mulai dari ketidaknyamanan hingga permusuhan yang mematikan saat mereka mengetahui bagaimana penolakan keluarga mereka terhadap prasangka rasial telah memposisikan mereka melawan sebagian besar orang di komunitasnya.

Perlakuan prasangka dalam To Kill A Mockingbird tidak hanya dalam ranah moral, namun juga perspektif. Saat membaca novel seseorang mungkin berpikir bahwa ini adalah masalah rasisme yang ada pada kulit putih berpendidikan, yang stabil secara finansial, bermoral, dan orang kulit putih yang bodoh, miskin, dan kejam. Karakter kulit hitam dalam novel jarang diberi suara tentang topik rasisme. Ketika mereka berbicara biasanya hanya untuk mengucapkan rasa terima kasih untuk orang-orang kulit putih yang baik, dan bukan dalam mengungkapkan kemarahan, frustasi, perlawanan, atau permusuhan terhadap budaya rasisme. Ketika penulis menampilkan karakter kulit hitam sebagai upaya untuk melawan rasisme, penulis justru membuat mereka menghindari hal tersebut, seperti ketika Tom Robinson mencoba melarikan diri dari penjara atau ketika Helen Robinson berjalan melalui hutan untuk mengindari jalan depan rumah Ewell. Karakter kulit hitam dalam novel tidak pernah menanggapi rasisme secara aktif dan nyaris tidak menanggapinya secara reaktif. Ketika karakter kulit kritis terhadap orang kulit putih, seperti ketika Lula menantang Calpurnia karena membawa Jem dan Scout ke gereja kulit hitam, dia dikucilkan oleh komunitas kulit hitam lainnya, menunjukkan bahwa keluhannya terhadap orang kulit putih tidak berdasar.

Hukum

Meskipun persidangan Tom Robinson hanya ada sekitar sepersepuluh dari buku, hal itu sudah mewakili titik pusat narasi dalam novel. Persidangan ini tampaknya dimasukkan penulis sebagai bentuk protes terhadap sistem hukum, setidaknya seperti yang ada di Kota Maycomb. Secara prosedural, hakim menjalankan persidangan dengan baik. Pengacara memilih juri dengan cara normal, dan baik pembela maupun penuntut pun mengajukan kasus mereka dengan baik. Namun para juri kulit putih tidak menafsirkan bukti-bukti berdasarkan hukum, namun lebih kepada prasangka mereka untuk menentukan hasil kasusnya. Putusan  bersalah terhadap Tom Robinson menunjukkan keterbatasan hukum, dan mengajak pembaca untuk mempertimbangkan arti kata “adil” dalam frasa “pengadilan yang adil.” Meski Atticus memahami bahwa sistem hukum itu banyak kekurangannya, di sangat percaya pada hukum. Pada saat yang sama Atticus percaya bahwa hukum harus diterapkan secara berbeda untuk orang yang berbeda. Dia menjelaskan kepada Scout bahwa karena dia memiliki kehidupan yang baik dan penuh dengan peluang, dia harus mematuhi hukum sepenuhnya, tetapi dia juga menyarankan bahwa ada orang di luar sana yang memiliki kehidupan yang sulit dan jauh dari kesempatan, dan akan ada beberapa waktu kita untuk membiarkan orang-orang itu melanggar hukum dalam hal-hal kecil agar tidak terlalu dirugikan oleh penerapan hukum tersebut.

Berbohong

Ada dua kebohongan terbesar dalam novel To Kill A Mockingbird. Mayella Ewell berkata bahwa dia diperkosa oleh Tom Robinson, dan Heck Tate berkata bahwa Bob Ewell secara sengaja menusuk dirinya. Kebohongan pertama mneghancurkan seorang laki-laki tidak bersalah yang menduduki posisi terendah dalam masyarakat Maycomb karena rasnya. Kebohongan kedua menghancurkan seorang laki-laki tak bersalah karena posisi sosialnya dalam Maycomb sebagai sosok yang penyendiri. Secara bersama, kedua kebohongan mencerminkan bagaimana kebohongan dapat digunakan untuk menyakiti orang lain. Kedua kebohongan itu juga mengungkapkan bagaimana anggota masyarakat yang paling rentan dapat sangat terpengaruh oleh cerita yang disampaikan orang tentang mereka. Status sosial juga menentukan siapa yang boleh berbohong. Selama persidangan, jaksa Horace Gilmer menghadapkan Tom Robinson, menanyakan Tom apakah dia menuduh Mayella Ewell berbohon, meskipun Tom tahu betul bahwa Mayella berbohong, dia tidak bisa mengatakannya karena di Maycomb kebohongan seorang wanita kulit putih memberi beban lebih besar daripada kebenaran yang diceritakan oleh pria kulit hitam. Atticus, di sisi lain, yang berkulit putih, laki-laki, dan memiliki status kelas yang lebih tinggi daripada Mayella, dapat menuduhnya berbohong ketika dia menyatakan bahwa ayah Mayellah lah, bukan Tom, yang memukulinya.

KONTEKS SEJARAH

Meskipun To Kill A Mockingbird adalah cerita rekaan, persidangan kasus pemerkosaan tokoh Tom Robinson sebagai pusat alur cerita sesungguhnya berdasarkan beberapa kejadian persidangan kulit hitam yang terjadi selama tahun-tahun sebelum Lee menuliskan bukunya. Lee tidak melebih-lebihkan rasisme dalam tulisannya. Bahkan dia mencemoohnya: tidak seperti banyak terdakwa kulit hitam pada masanya, Tom memiliki pengacara yang kompeten yang percaya ketidakbersalahannya, dan dia dapat melarikan diri dari keroyokan massa. Salah satu kasus yang kurang lebih berpengaruh dalam cerita novel adalah kasus pembunuhan di mana ayah Harper Lee, seorang pengacara yang dikenal dengan A.C. Lee, menjadi pengacara Frank dan Brown Ezell, seorang ayah dan anak kulit hitam yang dituduh melakukan pembunuhan, namun mereka dinyatakan bersalah dan dihukum gantung. A.C. Lee tidak pernah mengambil kasus pidana lain lagi, dan ada spekulasi yang menyatakan bahwa novel Lee dipengaruhi oleh pengalaman ayahnya dengan sistem peradilan yang rasis.

To Kill A Mockingbird juga merefleksikan persidangan Scottsboro Boys, salah satu kasus paling terkenal di tahun 1930an. Pada tahun 1931, sekelompok remaja kulit putih memulai perkelahian dengan beberapa remaja kulit hitam dan anak laki-laki di kereta. Setelah turun dari kereta, remaja kulit putih memberitahu sheriff bahwa mereka telah diserang. Dua wanita kulit putih juga mengaku telah diperkosa. Total ada Sembilan remaja kulit hitam yang ditangkap karena tuduhan pemerkosaan. Beberapa terdakwa masih berusia dua belas tahun. kelompok terdakwa ini dikenal sebagai “Scottsboro Boys,” sebuah kota di Alabama tempat persidangan pertama diadakan. Persidangan terjadi dengan cepat, dengan hanya satu hari untuk setiap persidangan. Pengacara yang membela para remaja itu telah lama tidak melakukan praktik hukum, dan dibantu oleh pengacara real-estate dari Tennessee yang tidak familiar dengan kasus ini dan hukum negara bagian Alabama. Pengacara tidak memberikan argument penutup, dan menolak permintaan jaksa agar para terdakwa dihukum mati menggunakan kursi listrik untuk kejahatan mereka. Jurinya serba kulit putih mempelajari kasus pertama, termasuk dua terdakwa, selama kurang dari dua jam sebelum memutuskan bahwa para terdakwa bersalah.

Setelah persidangan awal menentukan semua bersalah, kecuali satu terdakwa, kasus tersebut diajukan beberapa kali. Persidangan Banding mengklaim bahwa juri yang serba kulit putih itu telah memihak, pengacara terdakwa tidak kompeten, dan hukumannya tidak adil. Ketika persidangan pertama diadakan, seorang pelapor menyatakan bahwa dia berbohong atas kasus pemerkosaan tersebut. Pada tahun 1932, kasus tersebut mencapai Mahkamah Agung Alabama, yang menjatuhkan hukuman mati hanya kepada tujuh orang. Setelah beberapa kali banding lagi, kasus itu dibawa ke Mahkamah Agung Amerika Serikat, di mana dakwaan terhadap empat terdakwa dibatalkan. Para terdakwa lainnya akhirnya melarikan diri atau dibebaskan dari penjara. Terdakwa yang telah menerima hukuman mati di persidangan melarikan diri dan bersembunyi, dan kemudian menulis sebuah buku tentang pengalamannya setelah diampuni oleh gubernur. Pada tahun 2013, tiga terdakwa lainnya yang hukumannya belum dibatalkan dan belum diampuni menerima pengampunan anumerta. Kasus ini pun menjadi contoh dari ketidakadilan juri kulit putih dan telah diadaptasi dalam banyak buku, drama, dan film. Scottsboro sekarang memiliki Museum dan Pusat Kebudayaan Scottsboro Boys.

Ada banyak persamaan antara kasus Scottsboro dan To Kill A Mockingbird. Seperti di Scottsboro, Mockingbird memuat kasus tuduhan pemerkosaan seorang wanita kulit putih terhadap pria kulit hitam, sebuah kejahatan yang dapat di hukum mati pada saat itu. Juga seperti di Scottsboro, satu masalah utama dalam persidangan Tom Robinson adalah bahwa juri kulit putih itu tampak sangat memihak rasnya. Karena itu mereka menggapnya bersalah meskipun Atticus Finch menjelaskan bahwa Tom secara fisik tidak mampu melakukan kejahatan itu. kasus ini mirip dengan bagaimana juri di salah satu pengadilan Scottsboro kemudian mengabaikan pengakuan pelapor bahwa dia telah mengubah kesaksiannya. Selain itu, seperti di Scottsboro, Mockingbird menampilkan gerombolah massa yang berusaha membunuh Tom sebelum mengahdapi persidangan yang adil. Sementara para terdakwa dalam kasus Scottsboro ditahan di penjara, massa justru menuntut agar mereka di serahkan kepada massa;sheriff harus memanggil Alabama National Gguard untuk menjaga penjara dan memindahkan para remaja itu ke lokasi yang baru. Sepanjang abad dua puluh, laki-laki kulit hitam sering dihukum mati atas tuduhan yang tidak berdasar, kadang-kadang juga untuk pelanggaran kecil seperti mengedipkan mata atau catcalling wanita kulit putih. Para pengeroyok biasanya tidak dihukum karena pembunuhan tanpa hukum itu.

KONTEKS KESASTERAAN

To Kill A Mockingbird karya Harper Lee termasuk dalam trasdisi Gotik Selatan, sebuah genre yang terkenal pada abad kedua puluh dan menunjang perkembangan tradisi Gotik dalam mengekplorasi kekerasan mengerikan yang tersembunyi dibawah realita yang tampak baik-baik saja. Seperti dalam novel Gotik umumnya, genre Gotik Selatan menyajikan ketegangan dari penindasan, rahasi dan kekerasan masa lalu, yang akan meletup selama cerita novel berlangsung. Elemen-elemen ini juga muncul dalam karya penulis Gotik Selatan seperti Wiliam Faulkner, Flannery O’Connor, dan Tennessee Williams. Meski genre itu semakin berkurang pada paruh kedua abad kedua puluh, para penulis masih menggunakan konvensi-konvensinya hingga hari ini. karya-karya penulis kontemporer seperti Dorothy Allison, Barry Hannah, dan Cormac McCarthy semua memiliki konvensi novel Gotik Selatan. Memposisikan Mockingbird dalam konteks Gotik Selatan dapat membantu kita untuk memahami novel tersebut sebagai bagian dari dinamika tradisi sastra dan menambah kedalaman representasi budaya kota kecil dan rasisme.

Genre Gotik muncul di Eropa pada akhir abad delapan belas dan semakin populer sepanjang abad sembilan belas dan setelahnya. Novel Gotik seperi Frankenstein dan Wuthering Heights menggabungkan supranatural, tema gelap, dan latar kejauhan dengan cuaca butuk untuk mengekplorasi rahasia yang dikuburkan yang terus dilanjutkan pada masa kini. Novel Gotik Selatan juga bernuansa gelap penuh kekerasan, juga merujuk pada hal-hal supranatural, dan dapat dicirikan dengan konflik yang belum terselesaikan atau rahasia tersemunyi yang belum diungkap. Di Gotik Selatan, adegan terjadi di pedesaan selatan, dan kofliknya menyangkut rasisme dan kekerasan antara kawasan masa lalu dan masa kini. Semua karakteristik ini muncul dalam To Kill A Mockingbird. Novel berlatar di pedesaan Alabama, dan ditinggali oleh tokoh-tokoh jahat seperti Mrs, Dubose dan tokoh seperti-hanti Boo Radley. Persidangan Tom Robinson dan Bob Ewell’s mewakili pergulatan antara rasisme yang ditekan, sejarah kekesaran, dan citra permukaan Selatan yang lembut.

Salah satu pengarang Gotik Selatan yang paling terkenal adalah William Faulkner, yang novelnya As I Lay Dying dan The Sound and the Fury dianggap sebagai contoh utama genre Gotik Selatan. Novelnya berlatar di daerah Mississippi dan menampilkan tokoh yang berjuangan dalam mengahadapi rasisme dan kesulitan ekonomi pasca Perang Saudara. Rumah dan karakter berhantu, tema tabu seperti inses, rasisme dan kekereasan menjadi ciri khas dalam ceritanya. Kutipan terkenal dari pengarang ini yaitu “Masa lalu tidak pernah mati. Bahkan belum lewat” mencirikan ketidakmampuan tokoh dalam novel-novelnya, dan dalam tulisan Gotik Selatan secara umum, untuk bergerak maju melupakan dosa nenek moyang mereka. Flannery O’Connor, seorang pengarang cerita pendek, juga menulis banyak karya Gotik Selatan yang terkenal karena pandangan sisnisny (juga disebut “aneh”); dan perlakuan rumit mereka terhadap ras selatan yang terpisah-pisah. Tindakan kekerasan yang mengejutkan mengingatkan pembaca bahwa kegelapan dan suasana misterius mengintai di bawah permukaan kehidupan sebuah kota kecil.

Meski To Kill A Mockingbord memiliki banyak kesamaan dengan Gotik selatan lainnya, novel tersebut juga memiliki beberapa perbedaan adalam hal tone dan penggunaan humornya. Mungkin yang paling menonjol adalah novel ini memiliki tone yang ramah keluarga, sedangkan karya Faulkner dan O’Connor lebih menyentuh sisi kehidupan orang dewasa baik dari segi bahasa maupun isu yang diangkatnya. Perbedaan ini kemungkinan tidak hanya disebabkan oleh gaya pengarang yang memang berbeda namun fakta bahwa Mockingbird dinarasikan dari sudut padang seorang gadis remaja. Scout tidak memahami banyak hal tentang pembicaraan orang dewasa, dan hasilnya dia tidak menyebutka tentang seks, kekerasan, atau kejahatan seperti yang dilakukan penulis Gotik Selatan lainnya. Humor dalam Mockingbird juga lebih lembut daripada di banyak karya Gotik Selatan. Perbincangan seperti saat Scout meminta keluarganya untuk “pass the damn ham” itu lucu dan menarik, sementara humor dalam karya Faulkner dan O’Connor lebih gelap dan seringkali melibatkan karakter lainnya. Pada umumnya, Lee memperlakukan karakternya dengan kepeduliaan dan bermartabat, kecuali keluarga Ewell, yang merupakan karakter “aneh” dalam novel.

Secara keseluruhan, Mockingbird lebih optimistic daripada banyak karya yang berciri Gotik Selatan. Bila cerita O’Connor sering berakhir dengan pembunuhan atau keputusasaan, dan tulisan Faulkner menyajikan topik-topik seperti pemerkosaan, pembunuhan, inses, penyimpangan seksual, Mockingbird berakhir dengan kemanangan kebaikan (Boo Radley dan Finch) atas kejahatan (Bob Ewell). Kekerasan masa lalu, yang merupakan isu penting dalam Gotik Selatan secara umum, perlahan dihilangkan dengan kemungkinan para tokoh berdamai dengan sejarah dan belajar dari dosa masa lalu itu. Pengembangan karakter Lee tidak hanya didorong oleh tekanan dan siksaan, tetapi juga (dalam beberapa kasus) kaingin yang tulus untuk berbuat baik dan melakukan perubahan sosial. Rahasia, yang lama dipendam, kehilangan kekuatannya ketika diungkapkan pada hari yang cerah, seperti ketika Boo akhirnya muncul dari rumahnya dan membiarkan tetangganya melihatnya. Kata-kata terakhir dari buku ini, “kebanyakan orang itu baik ketika kamu bisa melihatnya”, membangkitkan harapan akan masa depan yang lebih cerah dan tanpa prasangka.

 

 

 

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Novel Emma

Analisis Novel The Secret Garden

Analisis Novel Breakfast at Tiffany's