Analisis Novel The Scarlet Letter
Memahami
The Scarlet Letter
Diterjemahkan
dari Sparknotes
TEMA
Dosa,
Pengetahuan dan Kondisi Manusia
Dosa
dan pengetahuan terikat dalam tradisi Judeo-Kristen. Alkitab dimulai dengan
kisah Adam dan Hawa, yang diusir Tuhan dari Taman Surga karena memakan buah
dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Sebagai hasil dari
pengetahuan mereka, Adam dan Hawa menyadari akan kemanusiaan mereka, yang
membedakan mereka dari yang ilahi dan dari mahluk lain. Setelah diusir dari
Taman Surga, mereka dipaksa untuk bekerja keras dan berkembang biak – dua hal
yang pada akhirnya menentukan kondisi manusia.
Pengalaman
Hester dan Dimmesdale mengingatkan kita akan kisah Adam dan Hawa karena, dalam
kedua kasus itu, dosa mengakibatkan pengusiran dan penderitaan. Tapi itu juga
menghasilkan pengetahuan-khususnya, pengetahuan tentang arti menjadi manusia.
Bagi Hester, The Scarlet Letter “surat merah” itu berfungsi sebagai
paspornya ke tempat-tempat yang tidak berani didatangi oleh wanita lain,”
membuatnya memiliki pikiran yang lebih radikal tentang masyarakat dan tentang
dirinya sendiri daripada siapapun di New England. Sementara bagi Dimmesdale,
“beban” dosanya membuatnya merasa simpati dengan saudara lainnya yang juga
penuh dosa, hatinya bertaut bersama mereka. Khotbahnya yang fasih dan penuh
empati itu berasal dari kenyataan ini. Hester dan Dimmesdale merenungkan dosa
mereka setiap hati dan mencoba berdamaia dengan pengalaman hidup mereka. Para
tetua Puritan, di sisi lain, bersikeras melihat pengalaman keduniawian sebagai
hambatan menuju surga. Dengan demikian, mereka memandang dosa sebagai ancaman
bagi masyarakat yang harus dihukum dan dihilangkan. Hukuman mereka terhadap
dosa Hester adalah mengucilkannya. Bila, masyarakat puritan itu stagnan, justru
Hester dan Dimmesdale menunjukkan bahwa pengalaman akan dosa dapat membuat
mereka bertumbuh menjadi pribadi yang lebih simpatik terhadap orang lain.
Kemandirian
Perempuan
Howthorne
mengekplorasi tema kemandirian perempuan dengan menunjukkan bagaimana Hester
dengan berani membuat keputusan sendiri dan mampu menjaga dirinya sendiri.
Bahkan sebelum cerita berlanjut lebih jauh, Hester telah mematahkan harapan
masyarakat dengan mengikuti kata hatinya dan memiliki berhubungan seks dengan
pria yang belum ia nikahi; dia kemudian membernarkan keputusan ini dengan
menjelaskan kepada Dimmesdale bahwa “apa yang kita lakukan tanggung jawab
sendiri.” Sebab Hester diusir dari komunitasnya, dia pun bebas dari banyak
ekspektasi masyarakat yang mengharuskan perempuan untuk tunduk dan patuh. Dia
juga memiliki tanggung jawab yang memaksanya untuk mandiri: dia harus mencari
nafkah agar ia dan putrinya dapat bertahan hidup. Keadaan yang tidak biasa ini
membuat Hester nyaman membela dirinya sendiri, seperti dia dengan keras kepala
menolak ketika Gubernur Bellingham hendak mengambil Pearl darinya.
Novel
ini juga menunjukkan bahwa kemerdekaan Hester ada harganya. Narator tampaknya
bersimpati dengan visi Hester akan masa depannya yang lebih cerah di mana
“kebenaran baru akan terungkap, untuk membangun hubungan pria dan wanita atas
dasar kebahagiaan bersama.” Namun, narator juga menyatakan bahwa karena Hester
telah hidup di luar konvensi sosial, dia tampaknya kehilangan ikatan dengan
prinsip-prinsip etika utama: “dia telah mengembara, tanpa aturan dan bimbingan,
dalam keliaran moral.” Novel ini juga berakhir dengan Hester kembali ke
masyarakat untuk menjalani kehidupan yang biasa, dan secara sukarelah memilih
untuk mengenakan “scarlet letter” lagi, keduanya menunjukkan bahwa di
akhir novel dia melepaskan beberapa kemandiriannya dan cara berpikir bebasnya.
Penggambaran Pealr juga menunjukkan bahwa kemandirian perempuan adalah
antithesis dari kebahagiaan.
KONTEKS
SEJARAH
Anne
Hutchinson dan Hester Prynne
Bab
pertama dalam The Scarlet Letter dibuka dengan deskripsi panjang tentang
semak mawar merah di luar pintu penjara, yang diyakini “muncul dibawah jejak
kaki Ann Hutchinson yang suci saat dia memasuki penjara” – terjalin antara
fiksi Hester Prynne dan seorang perempuan dalam kehidupan nyata juga dihukum
karena menentang masyarakat. anne Hutchinson adalah seorang perempuan Inggris
yang melakukan perjalanan ke koloni-koloni Amerika Utara pada tahun 1630an
untuk mempraktikkan kepercayaannya sebagai bentuk sejati dari kekristenan dan
kemudian diadili karena dianggap sesat.
Peristiwa
dalam The Scarlet Letter terjadi beberapa tahun setelah pengadilan dan
pengusiran Anne Hutchinson, dan hal tersebut tampak berpengaruhi besar terhadap
terciptanya novel. Seperti Hester, Hutchinson adalah wanita yang memiliki tekad
kuat dan tidak konvensional yang menentang norma-norma sosial komunitasnya,
tetapi tidak ada peristiwa dalam hidup Anne yang benar-benar mirip dengan plot
Hawthorne dalam karyanya.
Anne
Hutchinson percaya bahwa Gereja Inggris itu korup karena doktrin bahwa jiwa
seseorang dapat diselamatkan dengan melakukan perbuatan baik, bukan dengan
mengalami karunia Tuhan. Tak lama setelah tiba di Boston, Hutchinson mulai
mengadakan pertemuan di rumahnya di mana dia menyampaikan penfsirannya sendiri
tentang khutbah dari gereja. Dia pun membuka jendela rumahnya agar orang-orang
dapat mendengarnya dari beranda rumahnya. Sejarawan memperkirakan bahwa
pertemuan dihadiri hampir sepertiga penduduk Boston. Ketika ketakutan akan
potensi otoritas dan ketegangan atas berbagai keyakinan teologis mulai
meningkat, Hutchinson dituduh melakukan ajaran sesat dan kejahatan lainnya.
Sepanjang persidangannya, dia membela dirinya sendiri, meninggalkan kita dengan
salah satu dari sedikit catatan tertulis dari pidato seorang wanita. Terlepas
dari pembelaannya yang mengagumkan terhadap dirinya sendiri dan dukungan
rakyatnya, dia tetap dinyatakan bersalah karena berbicara menentang para
Menteri dan diusir dari koloni. Dia mencoba menemukan komunitas baru di Rhode
Island, sebuah koloni yang didirikan atas dasar kebebasan beragama oleh Roger
Williams, tetap terbunuh dalam serangan oleh penduduk asli Amerika pada tahun 1638.
Dalam The Scarlet Letter, Hawthorne mencatat bahwa Hester “mungkin telah hadir dalam kehidupan kita seperti sejarah Ann Hutchinson, seorang pendiri sekte agama,” menghubungkan kemandirian Hester dengan rekan kehidupan nyatanya. Namun, terlepas dari perbandingan ini, pengalaman kedua wanita itu sangat berbeda. Hutchinson dituduh melakukan kejahatan intelektual, tetapi musuhnya tidak pernah menyentuh kehidupan pribadinya. Pemberontakan Hester bersifat pribadi, ditandai dengan tindakan mengikuti kata hatinya dan menjalin cinta diam-diam dengan pendeta Dimmesdale, membela haknya untuk mempertahankan hak asuh Pearl, dan akhirnya berencana meninggalkan komunitasnya untuk memulai kembali kehidupan mereka. Sementara Hustchinson menunjukkan pembangkangannya melalu pidato, baik melalui khotbahnya dan selama pembelaan diri di persidangan, Hester justru memperjuangkan hak untuk tidak berbicara ketika dia memilih untuk melindungi identitas ayah dari anaknya. Tindakan pemberontakan atas kasus pribadi mungkin kurang diingat dan kurang didokumentasikan daripada yang public, tetapi dengan menulis novel dan membayangkan bagaimana perempuan selain Hutchinson memilih untuk memberontakan dalam masyarakat Puritan, Hawthorne memperbanyak catatan sejarah.
KONTEKS
KESUSASTERAAN
Hawthorne dan Roman
Sejarah
Meskipun
sekarang kita menyebut The Scarlet Letter adalah sebuah novel, Howthorne
sebenarnya memberikan subjudul bukunya “Sebuah Romansa”, sebuah referensi yang
diambilnya dari cerita petualangan hebat seorang kesatria di negeri asing.
“Romansa Sejarah” adalah subgenre romansa yang memalsukan mengkamuflasekan
peristiwa sejarah. Cendekiawan menyatakan bahwa romansa sejarah modern pertama
adalah novel Waverley karya Sir Walter Scott. Diterbitkan pada tahun
1814, Waverley menceritakan kembali kisah pemberontakan Skotlandia melawan
monarki Inggris pada tahun 1745 dari sudut pandang seorang tentara Inggris yang
menemukan sejarah darah skotlandianya setelah bergabung dengan sekelompok
penduduk dataran tinggi dan jatuh cinta dengan pemimpin wanita mereka. Scott
memadukan sejarah dan fiksi untuk membantu pembaca memahami bagaimana rasanya
hidup dalam periode sejarah itu. hampir semua tokoh Skotlandianya berbicara
dalam dialek dari periode tersebut, peristiwa sejarah yang nyata terjadi di
kehidupan para tokoh, dan tokoh sejarah nyata bahkan tampil sebagai cameo dalam
cerita. Sang protagonist mengalami banyak kejutan dan petualangan mendebarkan
dalam usahanya untuk mendapatkan hati kekasihnya.
Roman
sejarah Walter Scott sangat populer di Amerika Serikat dan menginspirasi banyak
penulis Amerika untuk menulis tentang negaranya sendiri. Penulis Amerika sangat
tertarik mengembangkan rasa identitas dan nasionalisme mereka ke dalam cerita,
dan untuk membantu pembaca memahami masa lalu dan sejarah mereka. Penulis
seperti James Fenimore Cooper dan Lydia Maria Child mengadaptasi cerita Scott,
menggantikan pertemuan antara dataran tinggi Skotlandia dan Warga Inggris
dengan penduduk asli Amerika dan koloni Anglo-Eropa. Novel-novel Cooper,
khususnya, menyentuh para penikmat sastra di sana dan dikenal sebagai “Scott
Amerika.” Salah ciri yang membedakan roman sejarah Amerika dengan Eropa adalah
eksplorasinya akan idea tentang menjadi “Amerika”. Para penulis ini, yang
kebanyakan menulis pada tahun 1820an dan 1830an sangat memengaruhi Hawthorne,
yang ketertarikannya pada sejarah Amerika terbukti dalam banyak kisah yang ia
terbitkan tentang Puritan New England.
The
Scarlet letter mendefenisikan ulang roman sejarah
sebagai cerita yang akurat secara historis yang menggunakan sensai dan efek
supernatural untuk menghasilkan perasaan seperti mimpi. Sementara pembaca di
tahun 1800an menganggap roman sejarah sebagai hanya sebuah genre sastra yang
menggabungkan sejarah dan fiksi, Hawthorne menuliskan defenisi “roman” dalam
kata pengantar “The Custom House” yang jauh berbeda. Dia dengan jelas menyatakan
bahwa The Scarlet Letter bukanlah sebuah novel, betapapun hebatnya, hanya
menceritakan kisah kehidupan sehari-hari. Roman, di sisi lain, membawa pembaca
ke tempat dan waktu yang berbeda, di mana memisahkan yang nyata dan yang fiksi
itu jauh lebih sulit. Hawthorne mengatakan bahwa membaca roman seperti duduk di
ruang tamu ketika seberkas cahaya bulan bersinar masuk. Dalam kegelapan, cahaya
bulan yang menyinari benda-benda dalam ruangan itu akan “menghidupkan” mreka
dan membuat benda-benda yang kita kenali itu menjadi hal yang asing. Dalam suasana
ini, ruang tamu menjadi tempat “antara dunia nyata dan negeri dongeng, dimana
Kenyataan dan Imajinasi bertemu.” Bagi Hawthorne, roman seperti scarlet
letter menghadirkan versi realitas yang berada antara kemungkinan dan kemustahilan,
antara yang nyata dan yang imajiner.
IDE
UTAMA
Pada
masa terbitnya The Scarlet Letter, tidak ada feminis dalam pengertian
modern, namun tokoh Hester menggabungkan ide-ide tentang konsep feminitas dengan
sikap berpikir bebas dan memberontak yang bisa dilihat bisa dilihat semacam pendahulu
untuk filsafat feminis yang hadir kemudian. Ketika pertama kali bertemu
dengannya, Hester digambarkan sebagai ibu muda yang menyerupai Perawan Maria.
Perawan Maria adalah simbil utama dari kesalehan seorang perempuan, tetapi dia
juga, seperti Hester, seorang yang mengandung anak di luar nikah. Hester juga
menentang aturan yang ada, tetapi dalam kasusnya yang terjadi adalah bahwa dia
terlibat dalam hubungan seks atas dasar kenikmatan, bukan hanya sebuah hubungan.
Lebih jauh lagi dia menentang komunitasnya dengan menolah memberitahu nama ayah
dari bayinya. Karena otoritas masyarakatnya semuanya laki-laki, penolakan ini
adalah semacam kekuatan yang digunakannya. Pihka berwenang dapat menghukumnua,
tetapi mereka tidak dapat memaksanya untuk membuka rahasianya. Dalam
menggunakan satu bentuk kekuatan yang dimilikinya – kekuatan untuk menyimpan
rahasia- Hester menunjukkan agensi feminis dalam hidupnya.
Reaksi
Hester terhadap hukumannya mungkin tampak seperti kepatuhan feminine, tetapi
sebenarnya mengandung unsur pemberontakan dan radikalisme dalam kemandirian dan
tekadnya untuk mempertahankan anaknya. Dia adalah seorang ibu yang setia dan keahlian
menjahitnya menghubungkannya dengan pekerjaan tradisional perempuan yang dipandang
layak dan terhormat. Tetapi statusnya sebagai ibu tunggal yang bekerja, yang
sepenuhnya bertanggung jawab akan kesejahteraan hidup putrinya, tetapi juga
bebas membesarkan Pearl sesuka hatinya, menjadikan Hester sebagai model akan
kemandirian perempuan. Demikian pula, keterasingan dan kemandiriannya
memungkinkan dia mempertanyakan ide-ide yang kebanyakan orang dianggap rumah: “Surat
merah adalah paspornya ke tempat-temat yang tidak berani dikunjungi oleh
perempuan lain.” Dia melihat bahwa banyak harapan dan gagasan yang mengatur
bagaimana seseorang seharusnya berprilaku sebenarnya semata dibuat untuk menciptakan
kontrol sosial. Secara spesifik, Hester menyadari bahwa perempuan diperlakukan
tidak adil dan sering kali menjalani kehidupan yang tidak menyenangkan sebagai
akibatnya: “sifat dari lawan jenis… pada dasarnya harus diubah, sebelum
perempuan diizinkan untuk menduduki posisi yang tampak adil dan sesuai dengan
kemauannya.”
Hester
menunjukkan gagasan feminisnya ketika dia meminta Dimmesdale untuk meninggalkan
New England dan memulai hidup baru bersama dia dan Pearl, tetapi akhirnya dia
kembali ke komunitasnya membuktikkan penegasan yang lebih tepat tentang
kemerdekaan dan pembebasan diri. Saat berbicara dengan Dimmesdale, Hester
merobek surat merah “scarlet letter” dan melepas topinya membiarkan
rambutnya jatuh terurai, melambangkan penolakannya terhadap upaya masyarakat
untuk mengendalikannya. Sementara scarlet letter memang merupakan
hukuman yang dibuat untuknya, juga setiap wanita terhormat pada masa itu harus
mengenakan topi, jadi Hester menolak semua cara patriarki mengontrol perempuan:
“Jenis kelaminnya, masa mudanya, dan kecantikannya pun kembali.” Namun terlepas
dari perilaku memberontak ini, novel diakhiri dengan Hester secara sukarela
kembali ke New England, dan terus mengenakan scarlet letter. Itu hampir tidak
tampak seperti tindakan feminis. Namun dengan menggunakan scarlet letter
atas dasar kehendak sendiri, bukan sebuah kewajiban, Hester sebenarnya
melanjutkan sikap menentukan nasibnya sendiri. Saat dia terus mendukung
perempuan lain yang berjuang dalam komunitasnya, dia menyalurkan semangat
pembebasan diri kepada perempuan lain yang menderita di bawah patriarki. Dengan
menjalani kehidupan yang dia pilih, Hester mewujudkan ide-ide tentang hak
memilih dan kesetaraan.
Comments
Post a Comment