Analisis Novel The Old Man and The Sea
Memahami
The Old Man and The Sea
Diterjemahkan dari Sparknotes
TEMA
Kehormatan
dalam Perjuangan, Kekalahan dan Kematian
Dari
paragraf pertama, Santiago digambarkan sebagai seseorang yang berjuang melawan
kekalahan. Dia telah melewati delapan puluh empat hari di laut tanpa bisa menangkap
ikan satupun-dia akan segera melewati pencapaiannya ini selama delapan puluh
tujuh hari. Nampak sebagai pengingat perjuangan Santiago, layar perahunya
menyerupai “bendera kekalahan.” Tetapi lelaki tua itu menolak kalah di setiap
kesempatan: dia memutuskan untuk berlayar melampau nelayan lain ke tempat
sumber ikan terbanyak. Dia berhasil membawa seekor marlin ke daratan setelah mencapai
rekor delapan puluh tujuh hari berlayar dengan perjuangan tiga hari yang
brutal, melawan hiu-hiu yang hendak memangsa tangkapannya.
Karena
Santiago ditempatkan dalam pertempuran melawan mahluk-mahluk laut, beberapa pembaca
mungkin melihat kisah ini sebagai pertempuran manusia melawan alam,
tetapi novella ini lebih tepatnya berkisah tentang posisi manusia di dalam
alam. Baik Santiago dan marlin menunjukkan harga dirinya, kehormatannya, dan
keberaniannya, dan keduanya tunduk pada hukum alam yang sama: mereka harus
membunuh atau dibunuh. Seperti yang direnungkan Santiago ketika melihat burung
laut yang berterbangan menuju pantai, di mana mereka pasti akan bertemu elang-pemangsanya,
dunia dipenuhi dengan pemangsa, dan tidak ada mahluk yang bisa lolos dari
perjuangan yang membawanya pada kematian. Santiago hidup menurut prinsipnya sendiri: “manusia tidak diciptakan untuk kalah.. manusia dapat dihancurkan
tetapi tidak dikalahkan.” Dalam potret dunia Hemingway, kematian tidak bisa
dihindari, tetapi manusia (dan hewan) terbaik tetap akan menolak menghindari kekuatannya. Oleh
karena itu, manusia dan ikan akan berjuang mati-matian melawan kematian.
Novel
ini menunjukkan bahwa memang ada kemungkinan untuk bisa melampaui hukum alam. Faktanya,
kehancuran yang tak terhindarkan menciptakan istilah yang memungkinkan manusia
atau binatang yang pantas untuk melampauinya. Justru berjuang melawan hal yang
tak terhindarkan, seseorang dapat membuktikan kehebaran dirinya. Memang, seorang manusia
dapat membuktikan tekad ini berulang-ulang melalui kemampuan lawan yang ia
pilih untuk dihadapi. Santiago menganggap para hiu layak untuk dilawan, sama
seperti dia pernah berjuangan untuk seorang negro yang pernah ditemuinya. Kekagumannya
terhadap lawan-lawan ini membawa cinta dan rasa hormat yang sama terhadap
kematian, karena kehancuran mereka menjadi titik kehormatan dan kematian yang
menunjukkan sifat heroik Santiago. Mungkin kita bisa menyamakan hal tersebut
dengan perkataan “aku mencintaimu maka aku harus membunuhmu.” Atau mungkin seseorang
akan menghubungkannya dengan penyair John Keats dan pertanyaannya tentag keindahan
yang hanya dapat dipahami pada saat-saat sebelum kematian, karena keindahan
dekat pada kehancuran. Santiago, meskipun hancur di akhir novel, tidak pernah
dikalahkan. Sebaliknya, ia muncul sebagai pahlawan. Perjuangan Santiago tidak
mengubah tempat manusia di dunia. Sebaliknya, perjuangan itu membawa dia pada
takdirnya yang paling bermartabat.
Harga
Diri sebagai Sumber Kebesaran dan Tekad
Banyak
persamaan yang ada antara Santiago dan para pahlawan klasik dunia. Selain menunjukkan
kekuatan, keberanian, dan moral yang luar biasa, para pahlawan itu juga
biasanya memiliki kekurangan yang besar, kualitas yang, meskipun mengagumkan,
pada akhirnya menyebabkan kehancuran mereka. Jika kesombongan adalah kelemahan
terbesar Santiago, dia sangat menyadari itu. Setelah hiu menghancurkan marlin,
lelaki tua itu berulang kali meminta maaf kepada tangkapannya yang tangguh. Dia telah
menghancurkan mereka berdua, dia mengakui, dengan berlayar melampaui batas
nelayan. Memang, kata terakhirnya perihal penyebab kehancurannya, “Tidak ada…
aku hanya pergi terlalu jauh.”
Meskipun
memang benar bahwa nasib buruk Santiago selama delapan puluh empat hari merupakan
sebuah penghinaan terhadap harga dirinya sebagai seorang nelayan yang ahli, dan
bahwa usahanya untuk menunjukkan keahliannya dengan berlayar jauh ke perairan
menyebabkan bencana, Hemingway tidak mengutuk protagonisnya karena penuh
kesombongan. Sebaliknya, Santiago berdiri sebagai bukti bahwa harga diri memotivasi manusia menuju kebesarannya. Karena lelaki tua itu mengakui bahwa
dia membunuh marlin perkasa sebagian besar karena harga diri, dan karena tangkapannya
itu membawanya pada kekalahan yang heroik, harga diri menjadi sumber kekuatan
terbesar Santiago. Tanpa rasa bangga yang besar, pertempuaran itu tidak akan
pernah terjadi, atau mungkin, pertempuan itu akan ditinggalkan sebelum
berakhir.
Kebangaan
Santiago juga memotivasinya untuk menghadapi kekuatan alam yang menghancurkan. Sepanjang
novel, tidak peduli seberapa buruk keadannya, lelaki tua itu menujukkan tekad
yang tak kunjung padam untuk menangkap marlin dan membawanya ke darat. Ketika hiu
pertama tiba, tekad Santiago disebutkan dua kali hanya dalam beberapa paragraf.
Pertama kita diberitahu bahwa lelaki tua itu “penuh tekad tetapi dia hanya
memiliki sedikit harapan.” Kemudian, narator mengatakan, “dia melawan hidup tanpa harapan namun dengan tekad.” Lelaki tua itu mengahadapi setiap tantangan
dengan tekad kuat yang sama: dia rela mati untuk membawa marlin, dan dia rela
mati untuk melawan hiu yang kelaparan. Keputusan sadar untuk bertindak, berjuang,
tidak pernah menyerah inilah yang memungkinkan Santiago dapat menghindari
kekalahan. Meskipun dia kembali ke darat tanpa piala dari pertempuran
panjangannya, dia kembali dengan kesadaran bahwa dia telah melawan dengan sangat
jantan. Hemingway tampak hendak mengatakan bahwa kemenangan bukanlah syarat untuk
mendapatkan kehormatan. Sebaliknya, kehormatan bergantung pada harga diri
seseorang untuk berjuang sampai akhir, terlepas dari apapun hasilnya. Bahkan jika
lelaki tua itu kembali dengan membawa daging si marlin, semua itu hanya
bertahan sementara. Kemuliaan dan kehormatan yang diperoleh Santiago bukan berasal
dari pertempuran itu, tetapi dari harga diri dan tekadnya untuk terus berjuang.
MINI
ESAI
Kekayaan
perairan Gulf menyediakan tempat para-burung dan binatang buas- yang ditemui
dan disapa oleh lelaki tua itu. Melalui interaksi Santiago dengan tokoh-tokoh
ini, sifatnya pun ditunjukkan. Faktanya, Santiago sangat akrab dengan perariran
ini, yang kadang dianggapnya sebagai kekasih yang sering berubah-ubah, sehingga
laut tampak seperti lensa dimana pembaca dapat melihat karakternya. Interaksi sandiago
dengan para burung misalnya, tidak hanya menunjukkan kebaikannya, tetapi juga
simpatinya saat dia merenung perihal elang yang akan memangsa burung-burung
kecil itu, sebuah gambaran yang mencerminkan kehidupannya. Kekuatan, tekad, dan
harga dirinya diukur dari seberapa jauh ia berlayar. Laut juga memberika
gambaran tentang kedalaman pengetahuan Santiago: dalam gagasannya tentang
angin, arus, dan gelombang, terdapat pengalaman, keterampilan dan dedikasi. Ketia,
di akhir novel, Manolin menyatakan bahwa dia masih harus belajar banyak dari
lelaki tua itu, itu tampaknya merupakan penggambaran yang jeals tentang Santiago.
Pada
awalnya, nasib Santiago tampaknya sangat mengenaskan. Dia telah berlayar selama
delapan puluh empat hari tanpa dapat menangkap ikan, dan dia menjadi bahan
tertawaan di desanya. Terlepas dari kejayaan masa lalunya, lelaki tua itu
memutuskan untuk mengubah nasibnya dan berlayar lebih jauh dari yang pernah
ditempuh nelayan manapun. Tekadnya untuk berlayar ke tempat ikan-ikan besar itu
membuktikan betapa besar harga dirinya. Kemudian, setelah para hiu menghancurkan
tangkapannya si marlin, Santiago menyalahkan dirinya sendiri karena kesombongannya,
menganggap bahwa hal itu telah menghancurkan dirinya dan marlin. Namun, harga
diri Santiago juga memungkinkannya mendapatkan apa yang mungkin saja tidak bisa
dia dapatkan. Tidak sampai dia bertemu dan memperjuangkan marlin keahliannya
sebagai nelayan pun diuji. Dengan kata lain, harga dirinya membawanya pada
kehilangan tangkapannya namun juga membuatnya mendapatkan rasa hormat dari
penduduk desa dan memberinya kepercayaan untuk mengajar para anak muda untuk
menjadi nelayan hebat.
Simbolimse
Kristen, khususnya gambaran yang merujuk pada penyaliban Jesus, dihadirkan
dalam cerita The Old Man and The Sea. Selama pertempuran lelaki tua
dengan para hidu, telapaknya tergores oleh tali pancing. Memberikan Santiago
penderitaan dan kerelaan untuk mengorbankan hidupnya, luka adalah simbol
pengorbanan Jesus, dan Hemingway menggambarkan lelaki tua itu seperti martir layaknya
Jesus. Sesaat tibanya para hiu, Santiago berkata “merasakan kuku-kuku dan
kayu-kayu menembus tubuhnya.” Dan perjuangan lelaki tua itu untuk sampai di
desanya dengan tiang layer berada di pundaknya menunjukkan gambaran perjalanan
Jesus dengan kayu salibnya. Bahwa posisi Santigo terbaring di ranjang-dia
telentang dengan kedua lengannya terentang lebar dan telapaknya mengadap ke atas-
memberikan gambaran Jesus dalam penyaliban. Hemingway menyajikan gambaran ini
untuk menghubungkan Santiago dengan Jesus, yang menunjukkan spritualitas dengan
mengubah kehancuran menjadi keutuhan, kekalahan menjadi kemenangan, dan bahkan kematian
menjadi kehidupan.
Comments
Post a Comment