Analisis Novel Pride and Prejudice
Memahami
Pride and Prejudice
diterjemahkan
dari Sparknotes
Konteks Sejarah
Pride and Prejudice dan Perang Napoleon
Selama masa hidup Jane
Austen, Inggris hampir terus-menerus berada dalam situasi peperangan. Pada
tahun 1793, ketika Jane Austen berusia tujuh belas tahun, Prancis
mendeklarasikan perang dengan Britania Raya setelah ketegangan muncul antara
kedua negara sebagai akibat dari Revolusi Prancis dan eksekusi mati raja
Prancis. Perang Revolusi ini berlangsung hingga tahun 1802, ketika ada suasana
kedamaian yang singkat, tapi kemudian perang dilanjutkan pada tahun 1803
sebagai akibat dari keinginan Napoleon untuk memperluas kekuasaannya.
Serangkaian perang ini berlangsung hingga 1815. Jane Austen menulis versi awal
Pride and Prejudice antara tahun 1796 dan 1797 dan kemudian merevisinya secara
signifikan antara tahun 1811 dan 1812 sebelum diterbitkan pada tahun 1813. Pada
kedua waktu tersebut, dia hidup dalam periode peperangan yang sangat rasakannya, terutama karena dua saudara laki-lakinya bertugas di Angkatan Laut
Inggris.
Pengaruh masa perang ini
muncul secara halus dalam Pride and Prejudice. Untuk tokoh dalam novel, kedatangan kelompok tentara sangat menyenangkan karena berarti kota akan dipenuhi dengan pemuda.
Namun, para pembaca pada masa itu akan memahami dengan sangat jelas bahwa
kehadiran tentara dan anggota milis menandakan bahwa pasukan tersebut bersiap
untuk menghadapi kemungkinan ancaman invasi Prancis. Kehadiran para prajurit
ini juga tidak selalu menenangkan. Sekumpulan tentara yang tiba di sebuah kota
juga menandakan adanya pemuda-pemuda yang menganggur dan bosan. Mereka dapat
membuat kekacauan karena mabok, melakukan hal-hal nakal, dan bahkan merayu para
wanita muda. Perilaku kasar tokoh Wickham menunjukkan kemungkinan resiko akan
kehadiran militer dalam komunitas lokal. Austen memilih untuk tidak secara
langsung merujuk pada peristiwa geopolitik lebih luas dalam Pride and
Prejudice. Bagi banyak pembaca, hal ini munkin tampak mengejutkan. Namun,
struktur novel memperjelas bahwa bahkan selama masa perang, peristiwa dalam
kehidupan sehari-hari tetap berlanjut dan banyak warga tidak perlu disibukkan
dalam perang.
Konteks Kesastraan
Jane Austen, Pernikahan,
dan Keluarga
Ketika Jane Austen
menulis Pride and Prejudice, novel tersebut masih terbilang jenis
tulisan sastra yang baru. Tidak seperti drama atau puisi, pengarang Inggris
baru menerbitkan novel sekitar seratus tahunan. Banyak novel berfokus pada plot
tentang pernikahan dan keluarga. Samuel Richardson adalah novelis Inggris yang
berperan penting dalam tradisi penulisan ini. Novelnya Pamela (1740) dan
Clarissa (1748) membahas tentang pengalaman wanita muda yang berjuang
menghadapi tekanan keluarga, masyarakat dan laki-laki. Sementara novel-novel
ini menampilkan peristiwa yang lebih sensasional daripada apa yang ditulis oleh
Austen, buku-buku Richardson membuka gagasan bahwa pengalaman seorang wanita
muda terkait pernikahan mereka merupakan topik yang layak untuk ditulis. Austen
mengakui Richardson sebagai novelis favoritnya, dan Pride and Prejudice mencerminkan
ketertarikannya dalam menggambarkan kesulitan yang dialami wanita muda dalam
pencariannya akan suami yang penuh kasih.
France Burney adalah
novelis terkenal lainnya yang menulis tentang tema serupa dan turut mempengaruhi
konteks sastra Pride and Prejudice. Novelnya Evelina (1778) dan Cecilia
(1782) menggambarkan wanita muda yang berjuang mendapatkan tempat mereka di
dunia, berbuat kesalahan, dan akhirnya menemukan cintanya. Burney mengembangkan
ide cerita perihal pernikahan dan kehidupan keluarga dalam bentuk komedi dan
satire. Novel-novelnya sering mengolok-olok para pelamar yang sok atau ibu-ibu
yang putus asa dalam menikahkan putri mereka. Gaya penulisan ini menjadikan
fiksi tentang kehidupan rumah tangga dan romansa menjadi lebih menghibur dan
populer. Pada saat Jane Austen menerbitkan Pride and Prejudice, jenis
novel dengan kisah cinta yang jenaka sedang digemari saat itu.
Jane Austen membawa
pengaruh besar pada novel-novel selanjutnya. Fiksi yang berfokus pada kehidupan
sehari-hari dan kehidupan sosial orang-orang biasa banyak diterbitkan pada
periode Victoria. Pengarang seperti George Eliot, Anthony Trollope, dan William
Thackeray semua berfokus menulis tentang kehidupan keluarga dan romansa percintaan
sembari tetap memperhatikan dengan cermat konvensi sosial kehidupan karakter mereka.
Pernikahan yang bahagia sering digunakan menjadi akhir di sebuah novel untuk
melengkapi alur cerita, sebuah tradisi yang diwariskan oleh Jane Austen. Dalam
kehidupan modern ini, munculnya genre sastra komedi romantis dapat dikaitkan
dengan pola yang diciptakan oleh Austen. Genre tersebut menampilkan wanita muda
yang mencoba memutuskan pasangan mana yang cocok untuk mereka, yang merupakan
topik populer dalam tulisan Austen. Bridget Jones’ Diary, misalnya,
merujuk langsung ke Pride and Prejudice dan menunjukkan bahwa banyak
tema karya Austen yang tetap relevan hingga saat ini.
Ide Utama
Siapa yang sombong dan
siapa yang berprasangka buruk?
Jane Austen menggunakan
dua pasangan kata untuk judul Pride and Prejudice, dan novelnya
yang lain, Sense and Sensibility. Awalnya dia berencana memberikan judul
“First Impressions” untuk novel Pride and Prejudice. Namun akhirnya kata
Pride dan Prejudice justru lebih mewakilkan tema dan ide dalam novel tersebut.
Arti Pride dan Perjudice
agak berbeda pada saat Austen menulis novelnya bila dibandingkan dengan
pengertian dewasa ini. Dulu, pride atau biasa diartikan kesombongan bukanlah
sifat yang positif. Sementara orang-orang sekarang ketika mengatakan pride maka
mereka cenderung berbicara tentang kebanggaan akan kerja keras atau pencapaian
mereka, di masa Austen bangga atau pride biasanya berarti seseorang berpikir
bahwa dia lebih baik daripada orang lain sehingga mereka hanya berinteraksi dengan
kelompok tertentu. Prejudice atau prasangkan berarti semacam penilaian tentang
seseorang yang didasarkan hanya pada asumsi, daripada tindakan atau karakter
orang tersebut yang sebenarnya. Saat ini, prejudice dapat berarti penilaian
tentang seseorang bersadarkan, misalnya, ras atau agama mereka. Namun di masa
Austen, prejudice biasanya mengarah pada penilaian akan reputasi, gossip, atau
tidakan yang disalahpahami.
Novel Austen menunjukkan
bahwa hampir setiap orang dapat menjadi sombong dan berprasangka. Meskipun
sifat-sifat ini kurang lebih bersifat universal, individu yang mampu
mempertimbangkan kembali pemikiran awal mereka adalah orang-orang yang paling
mungkin hidup berbahagia. Misalnya, Mr. Darcy yang paling jelas sombong dan
berprasangka buruk. Di satu sisi, kesombongannya itu bisa dimaklumi karena
kekayaan dan status sosialnya. Dia terbiasa diperlakukan sebagai sosok yang
tinggi, kode sosial yang ada memastikan bahwa dia diperlakukan dengan hormat
oleh tokoh dari posisi sosial kelas bawah. Bagaimanapun, kesombongan Darcy
memang sangat mencolok, dan dia selalu memastikan dirinya superior daripada
orang lain yang berinteraksi dengannya. Ketika dia berkata, misalnya, “Tidak
ada wanita di ruangan ini, yang akan menolak saya untuk berdansa,” dia
mengindikasikan bahwa tidak ada perempuan di pesta dansa itu yang menarik dan
elegan menurut standarnya. Bingley, di sisi lain, meski juga sangat kaya dan
memiliki status sosial yang tinggi, jauh lebih hangat dan terbuka ketika
bertemu orang baru.
Darcy juga menunjukkan
prasangka buruknya dengan sangat cepat terhadap orang-orang yang dia temui. Dia
tidak menyimpan prasangka ini sendiri dan bahkan mempengaruhi orang
disekitarnya. Contohnya, dia mengakui kepada Elizabeth bahwa dia telah berusaha
untuk mengakhiri hubungan Jane dan Bingley, berkata, “Saya sudah melakukan
semua yang saya bisa untuk memisahkan temanku dengan saudarimu.” Dia kemudian menjelaskan bahwa dia berpikir bahwa Jane sebenarnya terlihat tidak mencintai
Bingley. Ini menunjukkan bahwa dia mengasumsikan pengamatannya tentang Jane itu
benar dan dia tidak mempertimbangkan apakah asumsinya yang berdasarkan perasaan
itu benar adanya.
Sebagai akibat dari
kesombongan Darcy di awal novel, keluarga Bennet dan tetangga pun berprasangka
buruk padanya. Meskipun dia berprilaku tidak sopan dengan menolak Elizabeth
untuk berdansa dan juga tidak ramah, dia sebenarnya tidak menyakiti siapa pun.
Interaksi ini tidak cukup jelas untuk mengungkap karakter aslinya. Meskipun
demikian, kesan buruk yang diberikannya membuat banyak tokoh lain berprasangka
tentangnya. Misalnya, Mrs. Bennet menganggapnya “pria yang paling tidak
menyenangkan dan mengerikan.” Bahkan tokoh yang lebih pintar seperti Elizabeth
diperlihatkan memiliki kebiasaan mempercayai asumsinya. Ketiak Wickham
memberitahu Elizabeth perihal bagaimana dirinya diperlakukan buruk oleh Darcy,
dia mempercayainya karena Wickham menggambarkan Darcy yang sejalan dengan
prasangkanya tentang pria tersebut.
Kepercayaan Elizabeth
yang salah kepada Wickham menunjukkan bagaimana prasangka atau prejudice
mempengaruhinya dalam dua acara. Pada saat Wickham menceritakan masa lalunya,
dia sudah berprasangka negative terhadap Darcy. Elizabeth juga berprasangka
tentang Wickham. Wickham itu tampan, menawan dan muda bergaul. Meskipun cerdas
dan tidak mudah dibodohi, Elizabeth terpengaruhi akan tampilan luar dan tidak
menunjukkan penilain yang dalam terhadap sosok Wickham yang sebenarnya.
Prasangka luar yang baik semacam ini terjadi sepanjang novel. Misalnya, Mr.
Collins menganggap bahwa segala sesuatu yang dilakukan oleh Lady Catherine
adalah cerdas dan anggun karena dia terpana dengan kekayaan dan posisi
sosialnya. Dia tidak dapat membuat penilaian yang jelas perihal tindakan dia
yang sebenarnya.
Baik Elizabeth dan Darcy
harus mengatasi kesombongan dan prasangka mereka untuk mewujudkan cinta mereka
satu sama lain. Darcy melakukan ini terlebih dahulu, dan itu bukan proses yang
mudah untuknya. Ketika dia melamar Elizabeth, dia menjelaskan bahwa harga
dirinya membuat dia memungkiri ketertarikannya pada Elizabeth. Dia tidak ingin
jatuh cinta dengannya karena dia malu pada keluarganya. Namun, dia tidak bisa
menahan perasaan itu. Saat dia menjelaskan, “Sia-sia aku berjuang. Itu tidak
akan berhasil. Perasaanku tidak bisa dihilangkan.” Dia melepaskan sikap sombong
dan prasangka buruknya untuk melamar Elizabeth.
Elizabeth jauh lebih
keras kepala dalam mengatasi prasangkanya. Karena dia juga agak sombong, dan
tidak suka diperlakukan lebih rendah, dia tersinggung ketika Darcy mengatakan
hal-hal yang menyinggung keluarganya ketika dia melamarnya. Dia juga masih
percaya dengan prasangkanya bahwa Darcy telah memperlakukan Jane dan Wickham
dengan buruk. Elizabeth mulai memikirkan kembali asumsinya ketika Darcy
menjelaskan yang sebenarnya terjadi antara dia dan Wickham. Setelah
prasangkanya itu dipertanyakan, dia menjadi lebih terbuka untuk memikirkan
apakah mungkin dia salah menilai Darcy selama ini. Ketika dia mengunjungi
Pemberley, dia mendengar perpektif berbeda tentang Darcy dan melihat sisi baru
darinya. Prasangkanya ini berubah sama sekali ketika Darcy membantu keluarganya
akan kasus kawin lari Lydia. Dengan melobi Wickham untuk menikahi Lydia dan
menjaga reputasinya, Darcy menunjukkan integritas dan kemurahan hatinya.
Elizabeth menyadari bahwa kesombongan dan prasangkanya telah membawanya pada
penilaian yang salah akan dua tokoh laki-laki ini.
Esai
Singkat
Pride and Prejudice
adalah sebuah novel tentang bagaimana mengatasi rintangan dan mencapai romansa
kebahagiaan. Bagi Elizabeth, si tokoh utama, dan suaminya Darcy, rintangan
terberat mereka terletak pada judul asli buku itu: Kesan Pertama. Darcy,
keponakan wanita bangsawan yang sombong dan pemilih, harus melepaskan kesan dirinya dari prasangaka Elizabeth yang “tidak cukup tampan untuk menggoda saya,”
dan dari prasangka kelas sosialnya tentang kurangnya kekayaan dan relasi
keluarga Elizabeth. Kesan petama Elizabeth, sementara itu, menyebut Darcy
sebagai sosok yang arogan; sebagai akibatnya, Elizabeth menerima prasangka itu
sebagai sebuah kebenaran.
Baik Elizabeth maupun Darcy
dipaksa untuk mengatasi kesalahpahaman mereka. Secara strultural, separuh awal
novel ini berkisar tentang Darcy yang kesulitan menyatakan cintanya sebab
prasangka yang dibuatnya. Lalu di bagian kedua, kesan keliru Elizabeth berubah
menjadi kesadaran akan karakter Darcy yang sebenarnya. Dua lamaran dari Darcy
kepada Elizabeth menggambarkan perkembangan hubungan mereka. Dia menyampaikan
lamaran pertamanya kepada Elizabeth tetapi belum melepaskan diri dari prasangka
akan keluarganya, dan Elizabeth masih dalam situasi membenci Darcy. Lamaran kedua
– di mana Darcy dengan rendah hati menyatakan kembali cintanya pada Elizabeth,
sekarang dengan kesadaran penuh tentang karakter baik Mr. Darcy, dengan senang
hati menerima satu sama lain dengan karakter yang sebenarnya tanpa prasangka.
Ciri utama sifat Mr.
Bennet adalah keterasingannya dari prasangka dan kecerdasannya yang tajam. Jarak
yang dia ciptakan antara dirinya dan
absurditas di sekitarnya sering membuatnya disayangi oleh pembaca dan sejalan
dengan penyajian Austen akan karakter konyol Mr. Collins dan Lady Catherine. Mengasosiasikan
sudut pandang penulis dengan Mr. Bennet, bagaimanapun, adalah mengabaikan
kegagalannya sebagai ayah dan suami. Dia sangat cerdas, tapi pengabaiannya
terhadap peristiwa sekitar membuatnya menjadi orang tua yang tidak baik. Bumbu-bumbu
humor mungkin berguna untuk menangani kelakuan Mr. Collins, tapi tidak untuk
menghadapi tokoh jahat Wickham. Ketika peristiwa kawin lari Lydia terjadi, Mr. Bennet
tidak dapat menyelesaikan masalah tersebut. Darcy, si sopan dan energik, dan
Gardines, si pandai, tanggap, dan dapat diandalakan menjadi dua tokoh
dewasa paling berpengaruh dalam novel, harus terlibat dalam kasus tersebut. Mr.
Bennet adalah karakter yang disukai, menghibur namun tidak berhasil mendapatkan
rasa hormat dari pembaca.
Banyak tokoh ciptaan
Austen hidup melalui dialog, karena suara narasi dalam karya Austen adalah suara
lain dari tokohnya. Pidato panjang jarang terjadi begitupun dengan deskripsi
fisik yang terperinci. Sebagai gantinya, pembaca mendengar percakapan yang
cepat dan jenaka. Sifat tokoh diungkapkan melalui percakapan mereka: sifat
emosional Mr. Bennet muncul dari kecerdasannya, sementara sifat histeria Mrs.
Bennet dapat diketahui dari setiap kalimat yang dia ucapkan.
Dialog Austen sering
berfungsi untuk mengungkapkan aspek terburuk dari tokohnya – sikap sombong dan
dengki Ms. Bingley terlihat dari kata-katanya, pidato panjang lebar Mr. Collins
(dan dalam surat sesekali) memperlihatkan karakternya yang buruk. Namun dialog juga
dapat menyembunyikan sifat buruk si tokoh: Wickham, misalnya, menyembunyikan
keburukan dengan satire dan sifat jenakanya, dan itu berhasil membuat Elizabeth
percaya padanya (walaupun ketampanannya juga membantu).
Namun, pada akhirnya,
kemampuan berbicara yang baik dan kepribadian yang baik tampak berjalan beriringan.
Bukan kebetulan bahwa Darcy dan Elizabeth adalah pembicara terbaik yang ada
dalam buku ini: Pride and Prejudice adalah tentang kisah cinta mereka,
dan bagi pembaca, cinta itu terungkap melalui kata-kata yang mereka ucapkan.
Apa arti akhir novel?
Di akhir novel, Elizabeth
dan Darcy menikah dan tinggal di Pemberley, sementara Jane dan Bingley pindah ke
sebuah daerah perkebunan sekitar mereka. anggota keluarga lainnya secara
perlahan mendamaikan diri mereka dengan membangun hubungan yang lebih baik. Akhir
cerita mencerminkan puncak dari hubungan Elizabeth dan Darcy, kerena akhirnya
dapat memahami dan menghormati satu sama lain untuk hidup bersama dengan bahagia.
Secara signifikan, akhir cerita tidak lagi berfokus pada emosi pribadi
masing-masing tokoh, namun melainkan pada pernikahan mereka dan dampaknya
dengan orang-orang disekitar mereka. Austen menunjukkan bagaimana pernikahan
Darcy dan Elizabeth berdampak baik pada Kitty dan Georgiana dengan menjadi
panutan mereka, dan bagaimana Ms. Bingley dan Lady de Bourgh secara bertahap
menerima pernikahan yang sempat mereka tantang. Berfokus pada dampak sosial sebuah
pernikahan merupakan tema utama: yang menegaskan bahwa pernikahan tidak hanya
mempengaruhi pasangan yang menikah ini, tetapi juga komunitas yang lebih luas. Pernikahan
yang baik, di mana kedua pasangan saling mencintai dan menghormati, dapat
memiliki efek positif pada banyak orang di sekitar mereka.
Comments
Post a Comment