Analisis Novel Jane Eyre

 

Memahami Jane Eyre

Diterjemahkan dari Sparknotes

TEMA

Cinta versus Otonomi

Jane Eyre nampak seperti sebuah cerita akan hasrat menggebu untuk divintai. Jane tidak hanya mencari cinta yang romantis, tentapi juga rasa untuk dihargai, rasa untuk dimiliki. Karena itu Jane berkata pada Helen Burns: “untuk mendapatkan kasih sayang yang nyata dari kamu, atau Ms. Temple, atau orang lain yang benar-benar saya cintai, saya rela mematahkan tulang saya, atau membiarikan diriku terlempar banteng, atau berdiri di belakang kuda, dan membiarkannya menendang dadaku” (Bab 8). Namun, sepanjang buku ini, Jane belajar cara mendapatkan cintanya tanpa berkorban atau melukai dirinya sendiri dalam proses pencarian tersebut.

Ketakutannya akan kehilangan otonomi menjadi alasan penolakannya terhadap lamaran pernikahan Rochester. Jane percaya bahwa “menikahi” Rochester sementara dia masih terikat hukum pernikahan dengan Bertha berarti menjadikan dirinya seorang simpanan dan mengorbankan integritasnya. Di sisi lain, hidupnya di Moor House justru mengujinya dengan cara yang berkebalikan. Di sana, dia menikmati kemandirian ekonomi dan memiliki pekerjaan dan dapat bermanfaat bagi orang lain; mengajar orang miskin; namun dia kekurangan dukungan emosional. Meskipun St John mengajaknya untuk menikah, menawarkannya hubungan yang setara dengan tujuan yang sama, Jane sadar pernikahan mereka akan tetap tanpa ikatan cinta.

Agama

Sepanjang novel, Jane kesulitan untuk menyeimbangkan antara kewajiban moral dan kenikmatan duniawi, antara kewajiban terhadap jiwanya dan perhatian pada tubuhnya. Dia bertemu tiga tokoh agama terkemuka: Mr. Brocklehurst, Helen Burns, dan St John Rivers. Masing-masing mewakili model agama berbeda yang ditolak Jane saat ia membuat gagasannya sendiri tentang iman dan prinsip kepercayaan, dan konsekuensi praktisnya.

Mr. Brocklehurst menggambarkan bahaya dan kemunafikan yang dirasakan Charlotte Bronte terhadap gerakan injil pada abad kesembilan belas. Mr. Blocklehurst meniru retorika Evangelikalisme ketika dia mengkalim hendak membersihkan murid-muridnya dari kesombongan, tapi metodenya justru membuat mereka menjadi sombong, seperti ketika dia memerintahkan agar rambut keriting alami salah satu teman sekelas Jane dipotong sedemikian rupa agar dapat berubah menjadi lurus, adalah sepenuhnya tidak mencerminkan nilai-nilai kristiani. Tentu saja, aturan-aturan Brocklehurst’s sulit untuk diikuti, dan kemunafikannya dalam memperlakukan keluarga yang kaya raya dengan mengorbankan para siswa Lowood menunjukkan kewaspadaan Bronte terhadap gerakan injil. Sebaliknya, praktik kekristenan yang lembut dan sabar dari Helen Burns terlalu pasif untuk diadopsi Jane, meskipun dia mencintai dan mengagumi Helen karena hal tersebut.

Di banyak bab berikutnya, St. John Rivers menunjukkan model lain dari perilaku Kristen. Dia adalah orang Kristen yang berambisi, mulai dan sangat mementingkan dirinya sendiri. St John mendesak Jane untuk mengorbankan kebutuhan emosionalnya untuk memenuhi kewajiban moralnya, menawarkan cara hidup yang mengharuskan untuk tidak setia pada dirinya sendiri.

Meskipun pada akhirnya Jane menolak ketiga model tersebut, dia tidak meninggalkan moralitas, spiritualisme, atau kepercayaan pada Tuhan Kristen. Ketika pernikahannya batal, dia berdoa pada Tuhan untuk penghiburan (Bab 26). Saat dia mengembara di padang rumbut, miskin dan kelaparan, dia memasrahkan hidupnya di tangan Tuhan (Bab 28). Dia sangat mengecam nafsu imoralitas Rochester, dan dia menolak mempertimbangkan tinggal dengannya sementara dia masih terikat pernikahan dengan wanita lain. Meskipun begitu, Jane hampir tidak bisa melepaskan dirinya dari satu-satunya cinta yang pernah dirasakannya. Dia berterima kasih pada Tuhan karena membantunya melarikan diri dari hubungan yang dia tahu betul sangat tidak bermoral (Bab 27).

Jane akhirnya menemukan cara beragama yang moderat. Keyakinannnya tidak atas dasar kebencian atau penindasan sepertiyang dimiliki oleh Brocklehurst, juga tidak mengisolasi diri dari kehudipan duniawi seperti yang dipraktikkan oleh Helen dan St. John. Bagi Jane, agama membantu mengekang nafsunya yang liar, dan juga mendukungnnya untuk berusaha dan mendapatkan pemahaman akan duniawi. Pencapaian itu mencakup pengenalan diri yang dalam dan keyakinan penuh kepada Tuhan.

Kelas Sosial

Jane Eyre sangat kritis terhadap hierarki sosial pada masa Victoria yang ketat. Ekplorasi Bronte tentang posisi sosial pengasuh dalam novel ini merupakan tema yang penting. Seperti Heathcliff di Wuthering Heights, Jane memiliki posisi kelas yang ambigu dan, akibatnya sering menjadi sumber konflik bagi karakter di sekitarnya. Tata krama, keanggungan, dan pendidikan yang dimiliki Jane adalah cerminan sikap seorang bangsawan, karena pengasuh pada masa Victoria yang diharapkan dapat mengajar anak-anak perihal etika serta akademik haruslah memiliki perilaku aristokrasi. Namun, sebagai pekerja yang dibayar, mereka diperlakukan sebagai pelayan; dengan demikian, Jane tetap tidak memiliki kekuasaan dan tidak berdaya saat berada Thornfield. Pemahaman Jane tentang standar ganda menguat ketika dia menyadari perasaannya terhadap Rochester; dia setara secara intelektual namun tidak dalam kelas sosialnya. Bahkan sebelum mengetahui hubungan laki-laki dengan Bertha Mason, Jane ragu-ragu untuk menikah dengan Rochester karena dia merasa bahwa dia akan berhutang budi kepadanya karena merendahkan diri untuk menikahinya. Masalah-masalah yang dihadapi Jane, khususnya pada Chapter 17, nampak seperti kritik Bronte akan kelas sosial di masa Victoria.

Jane sendiri tampak beberapa kali menentang prasangka kelas di momen-momen tertentu. Misalnya, pada Bab 23 dia tegas berkata pada Rochester:  “apakah kamu pikir, karena saya miskin, polos, dan kecil, saya tidak berperasaan? Kamu slah! – aku sama berperasaannya sepertimu- dengan sepenuh hati! Dan jika saja Tuhan memberiku wajah yang cantik dan kekayaan, pasti sulit bagimu untuk meninggalkanku, sama seperti sekarang sulitnya saya meninggalkanmu.” Namun, juga penting untuk dicatat bahwa di Jane Eyre tidak ada batasan masyarakat yang bisa dimasukki begitu saja. Pada akhirnya, Jane pun bisa menikahi Rochester karena ia mendapatkan warisan dari pamannya.

Hubungan Gender

Jane berjuang keras untuk mencapai kesetaraan dan bebas dari penindasan. Selain hirarki kelas, dia juga harus berjuang melawan dominasi patriarki – melawan mereka yang percaya bahwa perempuan lebih rendah daripada laki-laki dan memperlakukan mereka seperti itu. Tokoh laki-laki yang menolak kesetaraan adalah; Mr. Brocklehurst, Edward Rochester, dan St. John Rivers. Ketiganya memiliki sifat misoginis dengan tingkat tertentu. Masing-masing pun mencoba untuk membuat Jane tetap patuh, dimana pikiran dan perasaan Jane dikekang. Dalam perjuangannya untuk kemandirian dan kesadaran diri, Jane harus melarikan diri dari Brocklehurst, menolak St. Jjohn, dan menikah dengan John hanya ketika dia dapat memastikan bahwa posisi mereka setara. Situasi terakhir itu dapat terjadi setelah Jane membuktikan dirinya mampu bermanfaar dalam komunitas dan keluarga. Dia bisa mandiri secara finansial. Lebih jauh lagi, Rochester lah yang akhirnya bergantung pada Jane. Pada Bab 12, Jane menunjukkan pada masanya apa yang disebut sebagai feminis radikal.

Rumah dan Kepemilikan

Sepanjang Novel, Jane mengartikan rumah sebagai tempat ia berada dan dapat bemanfaat. Ketika apoteker keluarga Reed, Mr. Lloyd, menanyakan apakah Jane senag tinggal di Gateshead, Jane menekankan bahwa itu bukan rumahnya karena dia tidak berhak tinggal di sana. Pada bab pertama, Jane menggambarkan dirinya sebagai “discord/masalah” di Gateshead karena temperamennya tidak cocok dengan keluarga Reeds, dan “tidak berguna” karena dia merasa tidak cocok dengan keluarga itu membuatnya jauh dari kebahagiaan dalam rumah tangga. Selanjutnya, keterasingan Jane diperparah karena tidak ada yangmencintainya di Gateshead, dan dia tidak memiliki siapapun untuk dicintainya. Di Lowood, Jane mencari pekerjaan di tempat lain setelah kepergian Miss Temple, karena dia percaya Miss Temple yang selama ini membuatnya dapat merasakan Lodwood seperti rumah sendiri. Tanpa orang yang dicintai, Jane tidak lagi merasa berguna di Lodwood. Kemudian, di Thornfield, Jane memiliki hubungan emosional yang dalam dengan Rochester yang dianggapnya sebagai “satu-satunya rumah”, tetapi dia meninggalkan Rochester karena bila tinggal bersamanya akan membuat mereka berdosa dan merusak jiwanya. Setelah mengetahui tentang Bertha Mason, dia merasa tidak berguna didekat Rochester. Di akhir novel, ketika Jane kembali ke Rochester, dia akhirnya bisa merasa bermanfaat untuknya, beberapa alasannya karena Rochester kini bergantung pada keberadaan Jnae. Keinginan Jane untuk memiliki terjalin erat dengan hasratnya untuk berguna bagi orang lain, dan hal tersebut mendorong setiap keputusannya di sepanjang cerita.

Kecemasan dan Ketidakpastiaan

Bronte menggunakan citra Gotik yang menakutkan untuk menyoroti kecemasan dan ketidakpastian di lingkungan kehidupan Jane, terutama dengan penggambaran supernaturalnya. Pertemuan pertama pembaca dengan gotik dan supernatural adalah di red-room yang menakutkan. Paman Reed mungkin tidak benar-benar menghantui ruangan itu, tetapi kenangannya dengan ruangan itulah yang menghantui  Jane sebagai pengingat akan janji yang tidak terpenuhi bahwa Jane akan memiliki ruamh di Gateshead dan kenyataan bahwa paman Reed tidak dapat memastikan apakah Jane akan menemukan cintanya. Kemudian badaia yang menerpa pohon kastanya tempat Rochester dan Jane berciuman menciptakan suasana yang luar biasa, seolah-olah alam pun menolak pernikahan mereka. Kejadian ini mengingatkan Jane bahwa terlepad dari tampakannya, kebahagiannya dengan Rochester tidak benar-benar aman. Lebih lanjut, banyak cendikiawan mengidentifikasi Bertha sebagai sisi gelap Jane, atau manifestasi fisik dan nafsu kekerasan dan kemarahan yang dimiliki Jane di masa mudanya. Hubungan Bertha dan Jane menyoroti kecemasan di lingkungan Jane untuk menjadi pengantin Rochester. Bahkan tanpa pengaruh Bertha pun, Jane khawatir Rochester akan bosan dengannya, dan pernikahan mereka akan mengubah struktur kelas sosisl Victoria yang kaku dengan meminta seorang pengasuh menikahi tuannya. Dengan car aini, kehadiran Bertha sebenarnya mengungkapkan ketakutan Jane akan pernikahan mereka dan ambiguitas posisi sosial Jane.

KONTEKS SEJARAH

Pada pertengahan tahun 1800an, masyarakat Victoria dibentuk dengan gagasan pemisahan ruang, bahwa ruang publik, bisnis dan politik adalah milik laki-laki, sedangkan perempuan berada di rumah. Pengetahuan pada masa itu beranggapan bahwa perempuan paling cocok untuk pekerjaan rumah tangga karena kelemahan fisik mereka, tetapi mereka memiliki moral yang lebih kuat daripada laki-laki. Kelemahan yang diidentikkan dengan peremuan menunjukkan bahwa orang-orang Victori percaya bahwa ruang public menakuti keberadaan perempuan. Oleh karen itu, seorang wanita yang baik harus tunduk pada suaminya, dengan pengetahuan yang mereka miliki, dan temperamen mereka yang lembut. Pemisahan ini juga menunjukkan bahwa perempuan dari kelas sosial yang lebih tinggi tidak memiliki kemandirian finansial, dan perempuan dari kelas sosial bawah memiliki sedikit pilihan untuk menemukan kemandirian finansial. Menjadi pengasuh, seperti Jane Eyre, adalah salah satu dari sedikit cara – selain menikah- untuk menemukan keamanan finansial ini. Para pengasuh memiliki ruang liminal dalam ruamh tangga kelas atas Victoria karena mereka menjadi tanggungan dari atasan mereka perihal pendidikan dan etika, yang menunjukkan peran mereka bukan sebagai tuan bukan pula sebagai pelayan. Desakan Jane pada kesadaran dirinya, penerimaan akan emosinya yang kuat, dan pernikahan di luar kelas sosialnya membuatnya menjadi tokoh perempuan yang rumit pada masa itu.

KONTEKS KESASTRAAN

Dalam menulis Jane Eyre, Charlotte Bronte terpengaruh dari tradisi sastra gotik yang populer pada masanya selama beberapa decade. Para cendekiawan umumnya menganggap bahwa novel tahun 1764 karya Horace Walpole The Castle of Otranto sebagai novel gotik pertama, diikuti oleh The Mysteries of Udolpho karya Ann Radclife (1794). Alih-alih menganalisis plot atau strukturnya yang seragam, para cendekiawan mengelompokkan novel Gotik berdasarkan penggunaan kiasannya. Kiasan ini meliputi: supranatural dan uncannya, ketidakjelasan waktu, pertentangan tentang kekuasaan, penyimpangan seksual, dan ruang menakutkan atau angker. Genre tersebut mempengaruhi lahirnya genre horror modern. Sementara Jane Eyre mempertahankan bentukanya dalam fiksi realistis, Bronte sangat terpengaruh akan tradisi gotik, khususnya dalam latar Thornfield Hall dan karakter Bertha Mason. Thornfield, meskipun tidak secara harfiah berhantu, menyembunyikan rahasia gelap penyakit mental dan pernikahan tersembunyi, dan kejadian-kejadian menyerupai rumah berhantu. Para cendekiawan mengidentifikasi Bertha sebagai kembaran gelap Jane, manifestasi fisik dari gairah gelap dan kemarahan Jane yang kita lihat pada masa mudanya dalam keluarga Reeds. Seperti novel-novel pendahulunya, elemen gotik dalam Jane Eyre menunjukkan skandal mengerikan yang tersembunyi dalam masyarakat yang tampak bermoral dan kecemasan para tokoh.

IDE UTAMA

Jane menikahi Rochester karena dia menganggapnya sebagai rumah emosionalnya. Sejak awal novel, Jane berjuang untuk menemukan orang-orang yang dapat terhubung dengannya secara emosional. Meskipun dia secara fisik memiliki rumah di Gateshead, dia menggambarkan dirinya sebagai “masalah” di sana, secara emosional terasing dari keluarga Reeds. Namun, saat dia bertemu Rochester, Jena merasakan koneksi emosional itu. Pada malam Jane dan Rochester bertemu, Jane bertanya-tanya apakah mungkin laki-laki itu adalah Gystrash, roh dari cerita rakyat Inggris, dan Rochester menyebut Jane seorang peri. Imajinasi romantic ini menunjukkan bahwa memiliki fantasi yang sama. Rochester lebih lanjut mengagumi semangat gelap Jane di masa kecilnya, mengapresiasi sisi supernaturalnya dan mengagumi sikap berterusterangnya. Dalam bab 22, Jane menganggap Rochester sebagai rumahnya, menekankan hubungan emosional yang terjalin antara mereka. Dengan status Rochester yang tidak lagi terikat pernikahan, membebaskan Jane untuk kembali kerumahnya itu.

Alasan lain yang mungkin mendasari pernikahan mereka adalah bahwa kemandirian dan kedewasaan yang baru ditemukan Jane memungkinkan dirinya untuk mengikuti kata hatinya dengan caranya sendiri. Jane awalnya meninggalkan Thonrfield bukan karena dia marah pada Rochester, tetapi karena dia takut menjadi budak hasratnya dengan tinggal bersama dan menjadi kekasihnya. Dengan meninggalkan Rochester, dia dapat membuktikan pada dirinya sendiri bhawa dia bisa hidup tanpa laki-laki itu dan menemukan otonomi dirinya. Penolakannya terhadap St. John juga menunjukkan bahwa dia menghargai dirinya dan dapat memahami dirinya sebagai sosok yang penuh gairah yang tidak bisa hidup dalam pernikahan tanpa ikatan cinta. Kembalinya Jane ke Rochester – menurut keinginannya sendiri bahwa mereka telah sah secara hukum untuk menikah- menandai kemerdekaan Jane dalam menggapai impiannya. Selain itu, saat bersama keluarga Reeds, Jane menerima warisannya, membeli property, dan menerima Diana dan Mary sebagai sepupunya. Rejeki ini memberi Jane keamanan finansial dan keluarga yang tidak dimilikinya sejak pertama kali datang ke Tthornfield Hall, yang juga membuatnya bergantung pada Rochester. Secara simbolis, kebutaan Rochester berarti mengharuskannya bergantung pada Jane, memberikan keseimbangan kekuatan dalam hubungan mereka.

Akhirnya, pembaca dapat menafsirkan pernikahan Jane dan Rochester sebagai tanpa penebusan rasa bersalah Rochester. Dalam bab 14, ketika Rochester menyinggung pernikahannya dengan Bertha dan penyesalan akan kesalahannya, Jane mendorongnya untuk bertobat. Ketika kemudian Jane meninggalkan Rochester setelah menemukan kebenaran tentang Bertha, Jane menekankan bahwa dia tidak meninggalkannya dalam kesengsaraan, tetapi dalam harapan dan kepercayaan pada Tuhan untuk memberinya hidup tanpa dosa. Melalui pandangan agama ini, kita dapat membaca bahwa kebakaran dalam rumah Thornfield Hall sebagai pembalasan atas dosa-dosa Rochester, dan usahanya untuk menyelamatkan Bertha sebagai bentuk pengakuan dan tanggung jawabnya akan kesalahan yang pernah diperbuat. Api membuat neraka dan hukuman, tetapi bertahannya Rochester menunjukkan kelahiran kembali dirinya. Lebih jauh lagi penyakit dan kehilangan Thornfield adalah manifestasi dari penebusan dosanya. Kembalinya penglihatan Rochester dan kelahiran putra mereka menunjukkan bahwa cinta Jane telah menyembuhkannya. Rochester dulunya tidak berperasaan dan egois, buta terhadap akibat dari tindakannya, tetapi dengan cinta Jane dia mulai melihat cara hidup yang lebih baik. Rochester telah membuat dirinya layak bagi Jane.

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Novel Emma

Analisis Novel The Secret Garden

Analisis Novel Breakfast at Tiffany's