Analisis Novel Anne of Green Gables

 

Memahami Anne of Green Gables

Diterjemahkan dari Sparknotes



Unsur Sastra

TEMA

Konflik Antara Imajinasi dan Harapan Sosial

Anne dipandu oleh imajinasi dan romantisismenya, yang seringkali menyesatkan. Lamunannya kerap menganggu pekerjaan dan percakapannya, menariknya menjauh dari kenyataan dan masuk ke dunia imajinernya sendiri. Pelarian ini menghibur Anne, namun kekayaan imajinasinya itu tidak sejalan dengan harapan masyarakat Avonlea perihal perilaku yang layak ditunjukkan. Imajinasi Anne kadang menyebabkan bencana-bencana kecil, mulai dari peristiwa memanggang kue yang tak layak dimakan, hingga bencana yang mengancam jiwa, seperti saat ia hampir tenggelam dalam upaya untuk memeragakan sebuah puisi. Marilla tidak menyukai fantasi, dan justru menganggap kebaikan datang dari perilaku sopan dan pikiran yang logis. Dia menganut kode sosial konvensioanlperihal bagaimana perempuan seharusnya bersikap. Anne pun kesulitan memahami mengapa Marilla tidak menggunakan imajinasinya memperbaiki kehidupan di dunia. Pada dasarnya sebagaian dari Marilla memang tidak imajinatif secara alamiah, dan sebagian lagi dia mengkhawatirkan Anne, berpikir bahwa dengan terus membayangkan dan merindukan hal-hal yang indah suatu hari akan membuat Anne kecewa bila kenyataan tidak sesuai dengan harapannya. Anne ingin menyenangkan Marilla dengan bersikap patuh dan hormat, namun ia juga tidak dapat membendung kesenangan yang ia dapat ketika berimajinasi. Saat ia dewasa, bagaimanapun, Anne mengekang jiwa romantisme ekstremnya dan menemukan jalan kompromi antara imajinasi dan perilaku yang diharapkan masyarakat Avonlea.

Sentimentalitas vs. Emosi

Perassan Anne sangat dalam: mencintai dan membenci dengan penuh gairah, dan bermimpi dengan penuh semangat. Namun, sebagai seorang anak, dia tidak dapat membedakan antara amosi yang sebenarnya dan sentimentalitas belaka, atau emosi palsu, yang sering membiarkan dirinya menuruti perasaan karena dianggapnya romantis. Kelemahannya akan sentimentalitas mewarnai cerita fiksinya, yang menampilkan melodrama, cinta sejati, pengabdian abadi, dan kehilangan yang tragis. Dia dan teman-temannya sangat menikmati histeria emosinya, mengucapkan selamat tinggal dengan penuh kesedihan kepada Mr. Philips meskipun mereka tidak menyukainya dan menakuti diri mereka dengan mengarang cerita hutan berhantu.

Keterikatan Anne pada sentimentalitas merupakan perlindungan dari emosi ketakutan dan kehilangan yang pernah ia alami saat kecil. Kematian orang tuanya meninggalkannya pada belas kasihan orang lain, dan sebagai seorang remaja dia diperlakukan tidak dengan cinta dan perhatian, tetapi dengan kekejaman dan pengabaian. Karena Anne sangat tahu rasa sakit dari emosi yang nyata, seperti kehilangan, kesedihan, dunia dalam sentimental-lah yang menghiburnya. Ketika dia berimajinasi dengan membuat cerita sentimental, di sanalah dia mampu mengendalikan keadaan. Barulah ketika Anne dewasa ia dapat menghadapai emosi yang nyata. Saat Matthew meninggal di akhir novel, Anne mengalami kehilangan yang sebenarnya. Sebagai sosok yang mampu menyesuaikan diri dengan baik, Anne dapat mengatasi kehilangan akan orang yang ia sayangi dan memahami masa lalunya sebagai emosi yang sebenarnya, bukan sebuah permainan sentimental masa kecilnya.

MOTIF

Pentingnya Tampilan yang Menarik

Meskipun mode menarik minat Anne karena ingin terlihat rupawan, pada dasarnya dia ingin terlihat modis karena dia percaya bahwa menjadi orang baik akan lebih mudah bila dia berpakaian bagus dan cantik. Bagi Anne, pakaian modis memiliki hubungan yang tumpang tindih dengan moralitas. Dia merasa akan lebih bersyukur jika penampilannya terlihat modis dan mengatakan bahwa dia tidak bisa menghargai Tuhan karena pakaiannya yang sederhana. Anne juga memandang fashion sebagai cara untuk menyesuaikan diri dengan teman-temannya. Pakaiannya yang semakin modis mencerminkan transformasinya dari anak yatim piatu yang sederhana menjadi seorang sarjana dan wanita yang sukses. Saat Anne tiba di Green Gables, dia menggunakan gaun mini yang jelek dari panti asuhan, yang merepresentasikan kesepian dan pengabaian. Di Green Gables, Marilla membuatkan Anne gaun yang cukup bagus namun tidak terlalu modis. Beberapa tahun kemudian, Matthew membelikan Anne gaun gaya terbaru dengan lengan mengembang. Pada akhirnya Marilla pun setuju untuk mengizinkan Anne berpakaian modis. Penerimaan bertahap akan keinginan Anne menggunakan pakaian modis menunjukkan perubahan perasaan Matthew dan Marilla untuk Anne yang semakin dalam. Pada awalnya, Marilla memperlakukan Anne dengan baik namun tidak memiliki alasan untuk memanjakannya. Sementara, meski Matthew ingin memanjakan Anne, dia tidak berani menentang Marilla untuk memberi Anne gaun yang indah, sampai akhirnya Marilla pun dapat mencintai Anne seperti anak perempuannya sendiri dan membiarkannya menggunakan pakaian yang modis.

Gambaran Alam

Imajinasi Anne yang kuat terungkap selama perjalanan pertamanya ke Green Gables, ketika dia berbicara dengan sangat romantis tentang pepohonan yang indah dan pemandangan alam Avonlea. Alam tidak hanya menyenangkan perasaan Anne, tetapi juga menjadi teman yang dapat diandalkan. Dia memiliki sedikit sekali teman manusia dan menemukan kenyamanan pertemanan pada tanaman dan sungai-sungai. Pada malam pertamanya di stasiun Avonlea, ketika dia takut tak ada yang datang menjemputnya, dia merasa nyaman dengan membayangkan akan naik di pelukan pohon dan tidur di sana. Bagi Anne, Avonlea, dengan pohon-pohonnya yang rimbun, mencerminkan sebuah surga dunia yang berbeda sekali dengan pohon-pohon layu dan dinginnya hari-hari di pantai asuhan. Di Green Gables dia menunjukkan rasa hormatnya pada alam dengan memberikan nama untuk danau dan bunga-bunga yang ditemuinya. Saat dewasa, rasa cintanya pada alam terus bertumbuh. Selama masa ujian yang menegangkan di Queen Academy, kecintaannya pada alam dapat menenangkannya dan membantunya untuk fokus pada hal yang benar-benar penting dalam hidup. Di akhir novel, ia melihat alam sebagai metafora untuk masa depannya: penuh keindahan, janji, dan misteri.

SIMBOL

Rambut Merah Anne

Rambut merah Anne melambangkan sikapnya terhadap dirinya, yang berubah seiring penceritaan dalam novel. Pada awalnya, Anne membenci rambut merahnya. Dia pikir itu adalah penyakit dalam hidupnya dan mengeluhkan hal tersebut di setiap kesempatan. Kebencian Anne akan rambutnya menunjukkan ketidaksukaannya pada diri sendiri. Tidak ada yang pernah mencintai Anne dengan layak, dan dia tidak mau mengakui kesalahan dan perilaku buruknya. Pada akhirnya, penerimaan dan kesukaan Anne pada rambut merahnya melambangakan penerimaan terhadap diri sendiri.

Cahaya dari Jendela Diana

Anne menganggap berkas cahaya dari jendela Diana sebagai simbol persahabatan abadi mereka. Itu adalah tanda yang memberikan Anne keyakinan untuk tetap tinggal di Avonlea dan merawat Marilla di akhir novel. Melihat simbol persahabatan yang penuh kasih dengan Diana membuat Anne yakin untuk mengorbankan ambisinya demi melakukan apa yang menurutnya benar.

ESAI PENDEK

Setibanya di Green Gables, Anne langsung berselisih dengan orang-orang Avonlea, terutama Marilla, karena pandangan mereka yang berbeda tentang bagaimana menjadi baik. Marilla mengikuti aturan ketat tentang perilaku yang baik berdasarkan peran dan kepatutan tradisional, dan dia menggunakan patokan tersebut untuk menilai karakter moral seseorang. Bagi Marilla, ketidaktahuan Anne tentang cara berdoa yang benar menunjukkan bahwa Anne tidak hanya dibesarkan dengan buruk tapi mungkin juga dengan jahat. Ketika Anne menghiasi topinya dengan bunga liar dalam perjalanan ke gereja, tanpa disadari dia menarik perhatian dan ledekan dari jemaat gereja. Marilla merasa tingkah Anne itu berdampak buruk padanya. Meskipun Marilla dapat memahami dan bersimpati dengan kurangnya pendidikan formal yang diterima oleh Anne, dia tetap merasa bahwa setidaknya seorang gadis harus mengetahui aturan paling dasar dalam berperilaku.

Anne bingung dengan kode moral baru yang dia terima saat tinggal bersama Marilla. Dia menyebutkan beberapa keinginan pribadinya dalam doa pertamanya, meminta pada Tuhan agar membuatnya cantik dan mengubah warna rambutnya, yang menunjukkan bahwa Anne menganggap doa sebagai kesempatan untuk mengekpresikan keinginan terbesarnya. Juga, Anne tidak mengerti mengapa mengenakan bunga ke gereja dianggap tidak pantas, padahal gadis-gadis lain pun mengenakan bunga hias di topi mereka. Aturan masyarakat yang bertentangan dengan akal sehatnya sungguh membingungkan Anne. Anne percaya jika seseorang pada dasarnya adalah sosok yang baik, maka seaneh apapun tindakannnya dia tetaplah orang yang baik.

Saat Anne dewasa dan Marilla pun melunak, perselisihan mereka mengenai cara berprilaku yang baik juga jarang terjadi lagi. Pada awal masa tinggalnya di Green Gables, Anne berpikir bahwa jika tindakannya mendapatkan pembenaran, maka dia akan bertindak sesuai dengan keinginannya. Misalnya, suatu ketika Anne membentak Nyonya Rachel karena menghina rambut merahnya. Meskipun Marilla dapat memahami perasaan Anne, dia juga tegas meminta Anne untuk mengikuti norma-norma yang ada. Pada akhirnya, Anne pun dapat mengerti pentingnya memperlakukan orang lain dengan rasa hormat. Dia tetap mempertahankan sikap teguh hatinya, tetapi juga mulai dapat memahami pentingnya cara bergaul dengan orang lain dan bertindak seperti yang diharapkan agar orang lain merasa nyaman.

Sebagai anak yatim piatu yang kekurangan kasih sayang, Anne terbiasa melamunkan masa depannya yang menyenangkan. Dia membangun masa depannya berdasarkan imajinasi, gagasan romantis tentang keindahan, cinta yang abadi, dan kehilangan yang tragis. Ketika tiba di Green Gables, dia membayangkan masa depan di mana dia bernama Lady Cordelia dan memiliki sahabat, rumah, dan orang-orang yang mencintainya. Dia membayangkan bahwa rambut merahnya akan menghilang dan memiliki kekayaan yang berlimpah. Ketika beberapa impian itu menjadi kenyataan, rasa senang dan kekecewaan dirasakan Anne dalam kadar yang berbeda-beda. Dia berhasil mewujudkan impiannya tentang mencintai rumah dan keluarganya, namun impiannya tentang kekayaan tidak terwujud. Saat dia dan Diana mengunjungi Bibi Josephine di kota, misalnya, merasakan bagian dari gaya hidup orang kaya, Anne menyadari bahwa fantasinya tentang kekayaan jauh lebih menghibur daripada kekayaan itu sendiri.

Saat Anne dewasa, dia membayangkan masa depannya secara berbeda. Romantismenya memudar, dan dia menganggap fantasi masa kecilnya tidak lagi penting. Ambisi menggantikan romantisme, dan Anne berusaha untuk mencapai tujuan yang realistis. Dia belajar dan bekerja dengan semangat yang sama ketika dia melamun. Pada akhir novel, tujuan Anne tentang masa depannya mengaju pada penggabungan antara gagasan romantis dan ambisinya. Anne melepaskan mimpinya yang tidak realistis untuk menjadi kaya menjadi mimpi yang realistis yakni berkuliah selama empat tahun. Dia memantapkan masa depannya dengan menggabungkan idealisme dan etos kerja. Dia memilih untuk tinggal di Avonlea yang sangat dicintainya, dengan rumah dan keluarga yang diimpikannya sejak kecil. Dia akan melanjutkan studinya dan mengajar di sekolah, namun dia juga akan memenuhi tugasnya sebagai orang dewasa yang bertanggung jawab dengan merawat orang-orang yang mencintainya.

Sebagai seorang anak, Anne berkeinginan mengenakan gaun mewah dan lengan mengembang, tetapi Marilla, yang selalu bijaksana, menganggap bahwa minat pada mode merupakan ekspresi kesombongan. Marilla percaya bahwa sebagai seorang wanita Kristen yang terhormat harus menjauhkan diri dari perhatian berlebihan pada mode. Konflik antara sikap Marilla dan Anne terhadap mode mencerminkan perbedaan yang lebih luas akan kepribadian dan keyakinan mereka. Anne sering menyamakan moralitas dengan penampilan fisik, menganggap bahwa akan lebih mudah untuk menjadi baik jika saja dia cantik dan berpakaian bagus. Marilla, di sisi lain, menganggap moralitas tidak boleh dihubungkan dengan perhatian pada mode.

Masuknya Matthew dengan malu-malu ke ranah mode adalah titik balik dalam konflik Anne dan Marilla. Meskipun Matthew tidak mengetahui banyak tentang keinginan perempuan, dia menyadari bahwa Anne terkucilkan dari yang lain karena pakaiannya yang polos dan tidak modis. Keputusan Matthew untuk membelikan Anne gaun baru dan dengan berani menghadapi penjaga toko wanita di kota menandai perubahan penting dalam karakternya. Mode adalah sarana bagi Matthew untuk menujukkan perubahan karakternya. Demi cintanya pada Anne, dia menjadi sedikit lebih berani.

Pemberian gaun Matthew untuk Anne mengubah sikap Marilla dan Anne. Marilla melihat bahwa Anne tetaplah orang yang sama baik dalam pakaian polos maupun mewah. Marilla tidak lagi hanya mengandalkan norma yang telah ada untuk membimbing moral Anne tetapi juga bersedia menerima ide-ide baru. Marilla menyadari bahwa tampilan mode Anne tidak mempengaruhi moralitasnya dan Anne bisa tetap menjadi orang baik terlepas dari apapun yang dia kenakan. Sementara itu, Anne belajar bahwa kecantikan lebih dari sekedar mengenakan gaun dengan lengan mengembang dan bahwa perilaku-lah, bukan mode, yang membuat seseorang menjadi baik.

Comments

Popular posts from this blog

Analisis Novel Emma

Analisis Novel The Secret Garden

Analisis Novel Breakfast at Tiffany's